Banggar: Anggota DPR yang “Dinonaktifkan” Tetap Terima Gaji Antara Prosedur Hukum, Tekanan Politik, dan Ekspektasi Publik
Ketua DPP PDIP, Said Abdullah di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (1/9/2025).
D'On, Jakarta — Polemik gaji anggota DPR yang dinonaktifkan partai politik kembali menjadi sorotan tajam publik. Ketua Badan Anggaran DPR (Banggar), Said Abdullah, menegaskan bahwa meskipun sejumlah anggota telah diumumkan nonaktif oleh partai, hak keuangan mereka tetap berjalan karena status hukum keanggotaan mereka belum berubah secara resmi.
Pernyataan Said Abdullah ini muncul di tengah derasnya kritik masyarakat, demonstrasi besar di beberapa kota, hingga aksi perusakan rumah pejabat publik yang dipicu oleh pernyataan kontroversial sejumlah politisi saat Sidang Tahunan MPR 2025.
Gelombang Kritik dan Kronologi “Nonaktif”
Awal polemik bermula dari ucapan serta sikap beberapa anggota DPR yang dinilai merendahkan publik dalam forum resmi kenegaraan. Reaksi masyarakat tidak main-main: aksi demonstrasi akhir Agustus di Jakarta, Surabaya, dan Medan bahkan memanas hingga menimbulkan bentrokan.
Demi meredam kemarahan publik, beberapa partai bergerak cepat:
- Fraksi NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach.
- PAN menonaktifkan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya).
- Golkar menonaktifkan Adies Kadir.
Langkah ini dipandang sebagai sinyal politik untuk menjaga citra partai. Namun, publik bertanya-tanya: jika sudah dinonaktifkan, mengapa mereka masih menerima gaji dan tunjangan?
Mengapa Gaji Tetap Mengalir?
Menurut Said Abdullah, jawabannya terletak pada perbedaan antara keputusan politik partai dan mekanisme hukum DPR.
-
Anggaran gaji sudah diputuskan.
Pengelolaan gaji dan tunjangan DPR berada di ranah administrasi, bukan di Banggar. Selama nama mereka masih tercatat sebagai anggota DPR aktif, hak finansial itu tetap dicairkan. -
Keputusan partai bersifat internal.
“Nonaktif” hanyalah sanksi politik. Secara administratif, status keanggotaan tidak otomatis berubah. -
Perubahan status hanya melalui mekanisme formal.
Jalur yang diatur UU adalah pemberhentian antarwaktu (PAW) atau mekanisme lain yang diakui undang-undang, bukan sekadar keputusan internal partai.
Payung Hukum: UU MD3 dan Tatib DPR
Dalam UU MD3 maupun Tatib DPR, istilah “nonaktif” tidak dikenal sebagai mekanisme umum. Regulasi hanya mengenal beberapa bentuk nonaktif sementara yang sifatnya spesifik, misalnya untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) saat diperiksa atas aduan.
Untuk mengganti seorang anggota DPR, mekanismenya jelas: PAW, yang memerlukan prosedur administratif ketat, mulai dari usulan partai, verifikasi KPU, hingga pengesahan Presiden.
Artinya, walaupun partai sudah menonaktifkan kadernya secara politik, hak-hak administratif mereka baru akan berhenti setelah PAW selesai.
Sejumlah pakar hukum pemilu menegaskan, penyebutan istilah “nonaktif” harus dipahami dalam konteks politik internal, bukan hukum formal.
Peran MKD: Etik vs Administrasi
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mendorong partai untuk bersikap tegas demi menjaga martabat parlemen. Namun mekanisme etik tidak serta-merta mengubah hak administratif anggota DPR.
Proses di MKD biasanya panjang: menerima aduan, memeriksa, hingga mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi itu bisa mempercepat langkah partai menuju PAW, tetapi tetap membutuhkan jalur formal.
Kondisi ini menimbulkan “jarak” antara harapan publik yang menuntut aksi cepat dan prosedur formal yang berbelit.
Tekanan Publik vs Kepatuhan Hukum
Keputusan menonaktifkan kader dinilai sebagai upaya partai menjaga citra di tengah badai kritik. Tetapi kenyataannya, publik tetap geram melihat mereka masih menerima gaji.
Di Senayan, isu ini berkembang menjadi wacana evaluasi tunjangan anggota DPR. Beberapa fraksi mulai membuka peluang untuk meninjau ulang hak keuangan anggota yang sedang bermasalah, meski wacana ini pun tidak mudah diwujudkan karena menyangkut regulasi dan kepentingan politik internal.
Apa yang Bisa Terjadi ke Depan?
-
Proses MKD Berjalan
Jika ada aduan resmi, MKD dapat memproses kasus etik yang berujung rekomendasi sanksi. -
Usulan PAW
Partai bisa mendorong PAW jika dianggap perlu, namun proses ini panjang dan penuh pertimbangan politik. -
Tekanan Publik Meningkat
Demonstrasi dan kritik masyarakat bisa mempercepat langkah partai maupun DPR melakukan evaluasi kebijakan.
Inti Masalah: Status Formal yang Belum Berubah
- Status hukum belum berubah → masih tercatat anggota DPR aktif.
- Anggaran gaji sudah berjalan → pencairan tetap berlangsung.
- “Nonaktif” hanya sanksi politik internal bukan dasar administratif untuk menghentikan gaji.
Fenomena anggota DPR “nonaktif” yang tetap menerima gaji menggambarkan paradoks antara prosedur hukum yang kaku dan tekanan politik yang mendesak.
Partai menggunakan istilah nonaktif untuk meredam kemarahan publik, tetapi tanpa mekanisme resmi seperti PAW, hak finansial tetap melekat pada anggota tersebut.
Dengan demikian, polemik ini tidak hanya soal gaji, tetapi juga tentang kepercayaan publik terhadap DPR, konsistensi partai menjalankan sanksi, serta kemampuan institusi politik merespons krisis moralitas dengan tindakan nyata.
(Mond)
#BanggarDPR #Politik #UUMD3