Andalas Law Competition VIII Sukses Gelar Seminar Nasional: Bedah Putusan MK soal Kebebasan Berpendapat di Era Digital
D'On, Padang, Sumatera Barat – Suasana Gedung Serbaguna Fakultas Hukum Universitas Andalas (FHUA) pada Jumat, 26 September 2025 dipenuhi antusiasme mahasiswa, akademisi, hingga praktisi hukum. Mereka hadir dalam Seminar Nasional Andalas Law Competition (ALCOM) VIII, sebuah forum ilmiah bergengsi yang tahun ini mengangkat tema krusial: “Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 Tentang Kebebasan Berpendapat Tanpa Batas: Kebebasan Berpendapat atau Anarki Digital”.
Kegiatan yang digelar atas kolaborasi antara FHUA dengan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) ini bukan sekadar seminar biasa. Ia menjadi ruang diskusi yang membedah secara mendalam ketegangan antara idealisme kebebasan berekspresi dan realitas ancaman anarki digital yang membayangi ruang demokrasi Indonesia.
Forum Akademik yang Kian Bergengsi
ALCOM VIII tahun ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi hukum bergengengsi yang memperebutkan Piala Bergilir Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., tetapi juga sarana penguatan tradisi akademik di kampus hukum terkemuka di Sumatera Barat.
Mengusung tema besar “Senandika Masyarakat dalam Pranata Hukum Guna Mewujudkan Sistem Hukum yang Berorientasi pada Kesejahteraan Rakyat dan Membingkai Indonesia yang Adil dan Demokratis”, ALCOM VIII berupaya mempertemukan gagasan kritis mahasiswa dengan pemikiran para pakar hukum. Melalui diskusi, kompetisi, dan seminar, kegiatan ini memperlihatkan bahwa mahasiswa hukum tidak hanya dituntut piawai dalam berdebat, tetapi juga ditantang untuk memahami dinamika hukum secara komprehensif dalam bingkai demokrasi.
Kehadiran Tokoh Penting Nasional
Seminar nasional kali ini menghadirkan sosok-sosok kunci di dunia hukum dan politik Indonesia. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., yang juga putra kebanggaan Minangkabau, membuka forum dengan sambutan inspiratif. Ia menekankan pentingnya memahami putusan Mahkamah Konstitusi bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi juga sebagai pedoman moral dalam menjaga ruang publik yang sehat.
Sorotan utama seminar datang dari Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus tokoh sentral dalam hukum tata negara Indonesia. Dalam pemaparannya sebagai keynote speaker, Mahfud MD menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar utama demokrasi. Namun, ia mengingatkan, “Kebebasan tanpa batas berpotensi menjelma menjadi kekacauan digital yang justru merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri.”
Selain itu, jajaran akademisi dan pakar turut memberikan perspektif beragam. Dr. Charles Simabura, S.H., M.H. menyoroti aspek yuridis dari putusan MK yang dianggap menjadi titik kritis antara perlindungan hak asasi dengan kepastian hukum. Dr. Indah Adi Putri, M.IP. melihat isu ini dari kacamata ilmu politik dan demokrasi digital, sementara Fitri Lestari, S.H., M.A. mengulas dampak sosial yang muncul dari kebebasan berpendapat tanpa filter di ruang maya.
Diskusi yang dipandu oleh Chindy Trivendi Junior, S.H. sebagai moderator berjalan hangat, dinamis, namun tetap mendalam.
Resonansi Akademik dan Dampaknya
Antusiasme peserta terlihat dari interaksi yang intens. Mahasiswa, dosen, hingga praktisi hukum terlibat aktif dalam sesi tanya jawab. Pertanyaan yang muncul tidak hanya sebatas aspek normatif hukum, melainkan juga menyinggung fenomena nyata yang dihadapi masyarakat—mulai dari maraknya ujaran kebencian, hoaks, hingga dilema etis kebebasan berekspresi di media sosial.
Bagi kalangan akademisi, seminar ini menjadi ruang yang mempertemukan teori dengan praktik. Bagi mahasiswa, forum ini membuka cakrawala bahwa belajar hukum tidak bisa hanya dari buku teks, tetapi juga melalui dialektika gagasan dengan para ahli dan tokoh bangsa.
Menjaga Demokrasi di Era Digital
Pada akhirnya, seminar nasional ALCOM VIII menyampaikan pesan penting: kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional, tetapi ia harus dijaga agar tidak menabrak prinsip hukum dan etika.
Indonesia sebagai negara demokrasi tengah diuji oleh derasnya arus digitalisasi. Jika kebebasan di dunia maya dibiarkan tanpa batas, maka ruang demokrasi berpotensi tergelincir menjadi anarki digital yang berbahaya. Namun, membatasi secara berlebihan juga bisa mengekang aspirasi rakyat.
Melalui forum seperti ALCOM VIII, diharapkan lahir gagasan kritis dan konstruktif untuk mencari titik keseimbangan antara hak berekspresi dan kepastian hukum, sehingga demokrasi Indonesia tetap berjalan sehat, inklusif, dan berkeadilan.
ALCOM VIII sekali lagi membuktikan dirinya bukan hanya kompetisi hukum biasa, melainkan juga laboratorium pemikiran progresif bagi masa depan hukum Indonesia.
(*)