Breaking News

UU Pers Digugat ke MK: Iwakum Desak Wartawan Tak Bisa Ditindak Polisi dan Digugat Perdata

Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil (tengah), Sekjen Iwakum, Ponco Sulaksono (kiri), didampingi kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa saat sidang pemeriksaan pendahuluan gugatan uji materiil UU Pers, di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (27/8/2025).

D'On, Jakarta
– Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) resmi mengajukan uji materi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers beserta penjelasannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini menjadi perhatian besar karena menyangkut kepastian hukum dan perlindungan profesi wartawan di Indonesia, terutama dalam menghadapi potensi kriminalisasi.

Dalam permohonan yang diajukan, Iwakum diwakili Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. Mereka menilai, aturan dalam Pasal 8 UU Pers yang berbunyi “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum” justru masih sangat lemah dan multitafsir.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa “perlindungan hukum” berarti adanya jaminan perlindungan dari pemerintah dan masyarakat kepada wartawan sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, menurut Iwakum, definisi tersebut terlalu umum dan tidak memberikan mekanisme jelas ketika wartawan menghadapi masalah hukum.

Multitafsir, Berbeda dengan Profesi Advokat atau Jaksa

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (27/8/2025), Irfan Kamil menegaskan bahwa ketentuan tersebut jauh berbeda dengan perlindungan hukum yang jelas diberikan kepada profesi lain, seperti advokat dan jaksa.

“Advokat dan jaksa memiliki aturan rinci mengenai perlindungan hukum, sedangkan wartawan tidak. Akibatnya, wartawan sering tidak mendapatkan kepastian prosedural saat berhadapan dengan aparat penegak hukum,” ujar Irfan di hadapan majelis hakim konstitusi.

Menurutnya, ketiadaan mekanisme perlindungan yang tegas membuka ruang kriminalisasi dan kesewenang-wenangan terhadap wartawan. Hal ini berdampak pada meningkatnya rasa takut di kalangan jurnalis, terutama ketika mengungkap kasus sensitif seperti korupsi, pelanggaran HAM, maupun praktik kejahatan terorganisir.

“Situasi ini menciptakan chilling effect. Wartawan jadi khawatir untuk bekerja secara kritis karena ancaman hukum bisa datang sewaktu-waktu,” tambahnya.

Iwakum: Kerugian Nyata dan Potensial Bagi Wartawan

Sekjen Iwakum, Ponco Sulaksono, menekankan bahwa keberlakuan Pasal 8 UU Pers saat ini telah menimbulkan kerugian nyata maupun potensial bagi jurnalis.

“Sebagai organisasi yang menaungi wartawan hukum, Iwakum menilai anggotanya bisa sewaktu-waktu mengalami kriminalisasi akibat berita atau investigasi yang mereka lakukan. Kerugian ini bersifat spesifik dan aktual,” tegas Ponco.

Oleh karena itu, Iwakum meminta MK untuk menegaskan bahwa wartawan tidak bisa dikenai tindakan kepolisian maupun gugatan perdata selama mereka bekerja sesuai kode etik jurnalistik.

Permintaan Spesifik: Izin Dewan Pers Sebelum Aparat Bertindak

Dalam petitumnya, Iwakum mengajukan permohonan agar MK menyatakan Pasal 8 UU Pers bersifat conditionally unconstitutional atau bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.

Mereka mengusulkan penafsiran baru, yakni:

  • Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam menjalankan profesinya sepanjang berlandaskan kode etik pers.
  • Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.

Dengan demikian, posisi Dewan Pers akan diperkuat sebagai lembaga yang berwenang memberikan filter awal sebelum wartawan berhadapan langsung dengan proses hukum.

Petitum Lengkap Gugatan Iwakum

Dalam dokumen permohonannya, Iwakum mengajukan empat poin penting kepada MK:

  1. Mengabulkan permohonan uji materi untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan Pasal 8 UU Pers bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana permintaan pemohon.
  3. Menyatakan penjelasan Pasal 8 UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  4. Memerintahkan putusan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Jika majelis hakim memiliki pandangan lain, Iwakum meminta agar putusan tetap diberikan dengan prinsip keadilan (ex aequo et bono).

Tarik Menarik Kepentingan: Kebebasan Pers vs Penegakan Hukum

Gugatan ini menyoroti ketegangan klasik antara kebebasan pers dan penegakan hukum. Di satu sisi, wartawan membutuhkan perlindungan agar bisa bekerja tanpa rasa takut. Namun di sisi lain, aparat penegak hukum tetap membutuhkan kewenangan untuk menindak dugaan pelanggaran hukum.

Jika MK mengabulkan permohonan Iwakum, hal ini bisa menjadi tonggak penting dalam memperkuat kebebasan pers di Indonesia. Namun, putusan juga berpotensi memicu perdebatan baru soal keseimbangan antara kebebasan pers dengan akuntabilitas hukum.

Putusan MK nantinya akan sangat menentukan arah perlindungan hukum bagi wartawan. Apakah jurnalis akan benar-benar terbebas dari ancaman kriminalisasi, atau tetap berada dalam ruang abu-abu hukum seperti yang terjadi selama ini?

(Mond)

#MahkamahKonstitusi #UUPers #Nasional #Wartawan #Jurnalis