Breaking News

Rokok, Beras, dan Kopi Sachet: Tiga Serangkai Penyedot Uang Warga Miskin Indonesia


D'On, Jakarta —
Masyarakat Indonesia masih menghadapi dilema besar dalam upaya keluar dari jerat kemiskinan. Ironisnya, salah satu penyebab utama kemiskinan bukan hanya soal pendapatan rendah atau pengangguran tinggi, melainkan juga soal pola konsumsi yang kurang sehat dan tidak produktif. Fakta mencengangkan ini kembali ditegaskan oleh data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025.

Berdasarkan laporan resmi BPS, beras, rokok, dan kopi sachet kembali menjadi penyumbang utama dalam pembentukan garis kemiskinan nasional. Artinya, sebagian besar pengeluaran masyarakat miskin justru tersedot untuk ketiga komoditas ini — bukan untuk kebutuhan yang bersifat produktif seperti pendidikan atau kesehatan.

Beras: Makanan Pokok, Tapi Juga Beban Terbesar

Tak dapat dipungkiri, beras memang masih menjadi makanan pokok utama sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, di sisi lain, tingginya konsumsi beras justru menyumbang signifikan terhadap garis kemiskinan.

  • Di wilayah perkotaan, beras menyumbang 21,06% terhadap garis kemiskinan.
  • Di perdesaan, angkanya bahkan lebih tinggi, mencapai 24,91%.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya kelompok miskin, sangat bergantung pada beras sebagai sumber energi utama. Padahal, dari sisi gizi, pola makan yang terlalu dominan karbohidrat tanpa asupan protein atau serat memadai justru bisa berdampak buruk dalam jangka panjang.

Rokok: Kebutuhan atau Kecanduan yang Menghancurkan Dompet?

Yang lebih memprihatinkan adalah data mengenai rokok kretek filter yang menjadi penyumbang terbesar kedua terhadap garis kemiskinan. Ini memperlihatkan bahwa konsumsi rokok masih sangat tinggi, bahkan melebihi kebutuhan dasar seperti telur dan daging ayam.

  • Di kota, kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan tercatat 10,72%.
  • Di desa, sumbangannya mencapai 9,99%.

Angka ini mengalahkan telur ayam (4,50% di kota, 3,62% di desa) dan daging ayam ras (4,22% dan 2,98%). Kebiasaan merokok bukan hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga menyedot pengeluaran rutin rumah tangga miskin. Fenomena ini bisa dilihat sebagai ironi besar: masyarakat rela mengorbankan asupan gizi demi memenuhi hasrat akan nikotin.

Kopi Sachet: Gaya Hidup Murah Tapi Menggoda

Tak hanya rokok, kopi instan dalam kemasan sachet juga masuk dalam daftar 10 besar penyumbang kemiskinan. Ini menandakan bahwa konsumsi kopi sachet, meskipun murah, telah menjadi bagian dari kebiasaan harian yang berdampak signifikan secara ekonomi.

Dengan cita rasa manis dan harga terjangkau, kopi sachet menjadi “teman setia” masyarakat kelas bawah. Namun, jika dikonsumsi secara rutin, pengeluaran bulanan untuk kopi sachet bisa menumpuk dan menggerus anggaran kebutuhan lain yang lebih esensial.

Komoditas Penyumbang Garis Kemiskinan Terbesar


Bukan Makanan Juga Menyumbang Kemiskinan

Selain makanan, komoditas bukan makanan juga tak kalah berpengaruh dalam menentukan status kemiskinan seseorang. Yang paling menonjol adalah:

  • Biaya tempat tinggal/perumahan: Menyumbang 9,11% terhadap garis kemiskinan di kota dan 8,99% di desa.
  • Bensin (BBM): Berkontribusi 3,06% di kota dan 3,03% di desa.

Biaya tempat tinggal menjadi momok bagi warga miskin kota, terutama mereka yang tinggal di kawasan metropolitan dengan sewa rumah yang kian melambung.

Apa Itu Garis Kemiskinan dan Bagaimana BPS Menentukannya?

Garis kemiskinan (GK) adalah batas minimum pengeluaran seseorang per bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup — baik makanan maupun non-makanan. Jika pengeluaran seseorang berada di bawah garis ini, maka ia digolongkan sebagai penduduk miskin.

BPS menghitung GK dengan dua komponen utama:

  1. Garis Kemiskinan Makanan (GKM): Menyumbang 73,67% di kota dan 76,07% di desa, berdasarkan kebutuhan minimal 2.100 kkal per kapita per hari.
  2. Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM): Seperti pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan — menyumbang 26,33% di kota dan 23,93% di desa.

Besaran garis kemiskinan ini berbeda-beda di tiap daerah, tergantung pada harga barang dan biaya hidup lokal. Misalnya, harga sewa rumah dan beras di Jakarta tentu jauh lebih mahal dibandingkan daerah seperti Padang atau Mataram.

Garis Kemiskinan Nasional: Rp 609.160 per Bulan

Per Maret 2025, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Ini berarti, bila pengeluaran seseorang berada di bawah angka ini, maka ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Refleksi: Butuh Edukasi Konsumsi dan Prioritas Kebutuhan

Data BPS ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi semua pihak — pemerintah, lembaga pendidikan, LSM, hingga masyarakat sendiri. Kemiskinan di Indonesia bukan hanya soal pendapatan yang kecil, tapi juga soal keputusan pengeluaran yang kurang bijak.

Rokok dan kopi sachet memang memberikan kepuasan sesaat. Namun, jika itu menjadi prioritas dalam belanja bulanan, maka mimpi untuk keluar dari kemiskinan akan terus menjauh. Diperlukan edukasi gaya hidup sehat dan konsumsi cerdas agar masyarakat bisa memprioritaskan pengeluaran pada hal-hal yang berdampak jangka panjang: seperti makanan bergizi, pendidikan anak, dan akses kesehatan.

"Kita tidak bisa menghapus kemiskinan hanya dengan memberi bantuan. Kita perlu membekali masyarakat dengan pengetahuan, kebiasaan baik, dan kesadaran tentang pentingnya konsumsi yang cerdas."

(Mond)

#BPS #Kemiskinan #Nasional