Negara Hadir untuk Korban Kekerasan Seksual: Prabowo Teken PP 29/2025, LPSK Siap Salurkan Dana Bantuan
Ilustrasi Korban Kekerasan Seksual
D'On, Jakarta — Langkah konkret negara untuk memulihkan korban kekerasan seksual akhirnya menemukan jalur hukum yang kuat. Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 18 Juni 2025 lalu, sebuah tonggak penting yang menandai kehadiran nyata negara dalam menjawab jeritan korban yang selama ini sering kali tidak terdengar.
Peraturan ini lahir sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, khususnya Pasal 35 ayat (4), yang mengatur perlunya negara memberikan kompensasi kepada korban saat pelaku tidak mampu memenuhi kewajiban restitusi.
Negara Mengisi Kekosongan Keadilan
Selama ini, banyak korban kekerasan seksual menghadapi kenyataan pahit: meski pelaku telah divonis bersalah dan diwajibkan membayar restitusi, keterbatasan finansial pelaku kerap kali menjadikan hak korban hanya sebatas teks dalam putusan pengadilan. Di sinilah negara turun tangan.
Melalui PP 29/2025, negara hadir bukan hanya sebagai penghukum, tetapi juga sebagai pemulih. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, menyebut PP ini sebagai “pintu masuk kehadiran negara” untuk memastikan korban memperoleh hak-haknya secara utuh.
“Ketika pelaku tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya, negara tidak boleh diam. Melalui Dana Bantuan Korban, negara hadir untuk menutup celah keadilan itu,” ujar Nurherwati, Selasa (8/7).
Menurutnya, keberadaan dana ini bukan hanya soal uang, tetapi simbol keadilan substantif. Negara tak hanya menghukum pelaku, melainkan juga memulihkan martabat korban.
LPSK sebagai Garda Depan
PP ini menunjuk LPSK sebagai lembaga utama yang mengelola penghimpunan, pengalokasian, dan pemanfaatan dana bantuan korban. Peran LPSK mencakup seluruh proses: mulai dari menyusun kebijakan, mencari dan menerima sumber dana, merancang bantuan, menyalurkan dana, hingga membuat laporan pertanggungjawaban secara transparan.
Tidak hanya itu, LPSK juga diberi kewenangan untuk menyetujui atau menolak permohonan bantuan, berdasarkan telaah menyeluruh atas kerugian yang dialami korban. Mereka juga akan bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga guna memastikan implementasi dana berjalan akuntabel dan sesuai regulasi fiskal.
Dana ini diberikan dalam bentuk uang tunai sebagai kompensasi konkret, baik atas kerugian materiil maupun immateriil, dan dapat digunakan untuk menutupi kekurangan restitusi yang tidak dibayar pelaku, serta mendanai proses pemulihan korban.
Sumber Dana Beragam, Kolaborasi Diperlukan
Dana Bantuan Korban (DBK) ini akan dihimpun dari berbagai sumber, antara lain:
- Anggaran negara,
- Sumbangan individu dan masyarakat,
- Donasi dari lembaga filantropi,
- Dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (CSR),
- Sumber sah lainnya yang tidak mengikat.
Namun demikian, Nurherwati mengingatkan bahwa pengelolaan DBK tak bisa dibebankan hanya kepada LPSK. Perlu kerja kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan: kementerian, pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga sektor swasta.
“Semua pihak harus bergerak bersama. Dana Bantuan Korban bukan sekadar program, tapi harapan nyata bagi para korban,” tegasnya.
Prosedur Bantuan: Cepat dan Transparan
Salah satu sorotan penting dari PP ini adalah soal kecepatan pencairan. Negara memberikan tenggat waktu maksimal 30 hari untuk pencairan dana setelah LPSK menerima salinan putusan pengadilan atau setelah permohonan bantuan disetujui. Prosedur ini diharapkan mempercepat pemulihan korban dan mencegah trauma yang berkepanjangan.
Sebelum dana diberikan, LPSK terlebih dahulu melakukan penghitungan kerugian korban dan menentukan besaran restitusi yang harus dibayar oleh pelaku. Jika setelah penelusuran dan penyitaan aset diketahui pelaku tidak mampu membayar penuh, maka negara menutupi kekurangannya melalui Dana Bantuan Korban.
Tak Hanya Kompensasi, Tapi Juga Pemulihan
DBK tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap restitusi, tetapi juga bisa digunakan untuk mendanai pemulihan menyeluruh bagi korban, baik fisik, psikologis, sosial, maupun bantuan non-restitusi lainnya. Permohonan bantuan ini dapat diajukan oleh korban, keluarga korban, atau kuasa hukum korban, dan akan ditelaah LPSK secara mendalam.
Jenis pemulihan bisa mencakup:
- Rehabilitasi medis dan psikologis,
- Pendampingan hukum dan sosial,
- Bantuan pendidikan atau ekonomi,
- Sinergi program pemulihan kementerian dan daerah.
Ini menunjukkan bahwa pendekatan negara kini lebih manusiawi dan menyeluruh—tidak hanya berfokus pada sanksi pidana, tapi juga pada kualitas hidup korban setelah tragedi.
Langkah Awal Menuju Keadilan Restoratif
Dengan lahirnya PP 29/2025, Indonesia mencatat langkah maju dalam membangun sistem hukum yang berpihak pada korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual yang selama ini menempatkan korban dalam posisi paling rentan.
Langkah ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal untuk memperkuat sistem keadilan restoratif, di mana pemulihan dan keadilan berjalan beriringan.
(Mond)
#Nasional #LPSK #KekerasanSeksual #BantuanKorbanKekerasanSeksual