Diplomat yang Tewas di Menteng dengan Kepala Dilakban Pernah Soroti Isu Pekerja Migran dan Papua
Diplomat Kemlu Arya Daru Pangayunan. Foto: Instagram/ @indonesiainba
D'On, Jakarta — Kabar duka menyelimuti Kementerian Luar Negeri RI. Seorang diplomat muda, Arya Daru Pangayunan (39), ditemukan tewas di kamar kosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/7). Kepergiannya menyisakan banyak pertanyaan sekaligus meninggalkan warisan pemikiran yang menyentuh isu-isu sensitif dan penting: dari keterlibatan Orang Asli Papua (OAP) dalam industri selam, hingga nasib anak-anak pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Namun, sebelum kematiannya yang tragis, Arya ternyata sempat menuangkan gagasan dan pengalaman diplomatiknya melalui dua tulisan opini yang diterbitkan di platform kumparan. Tulisan-tulisan itu kini menjadi jendela terakhir untuk mengenal kepedulian dan prinsip hidup seorang diplomat yang disebut koleganya sebagai sosok idealis, tajam dalam analisa, dan penuh empati terhadap kelompok rentan.
Suara untuk Papua: Industri Selam yang Belum Ramah bagi Orang Asli
Dalam tulisan berjudul "Orang Asli Papua dalam Pengembangan Industri Selam di Bumi Cendrawasih", yang dipublikasikan pada 18 Juni 2024, Arya mengangkat topik yang jarang dibicarakan: ketimpangan keterlibatan warga lokal terutama Orang Asli Papua dalam industri wisata selam di tanah mereka sendiri.
“Sedikit sekali penyelam lokal yang memandu para wisatawan mancanegara,” tulis Arya dalam artikelnya. Ia melihat kondisi ini sebagai tanda adanya kesenjangan akses dan peluang. Menurutnya, salah satu hambatan utama adalah biaya sertifikasi penyelaman yang tinggi, yang membuat warga lokal kesulitan untuk ikut ambil bagian sebagai pemandu profesional.
Arya tidak berhenti di kritik. Ia mengajukan solusi konkret dalam tulisannya:
- Kolaborasi dengan lembaga sertifikasi dan pelaku industri pariwisata
- Program beasiswa dan bantuan keuangan
- Peningkatan kesadaran dan promosi profesi penyelam di kalangan OAP
- Pengembangan infrastruktur dan dukungan lokal
Ia menutup tulisannya dengan ajakan penuh semangat untuk membangun pendekatan yang “komprehensif dan terkoordinasi” agar ke depan, anak-anak asli Papua tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku utama dalam geliat ekonomi biru di wilayahnya sendiri.
Kisah Kemanusiaan di Taiwan: Anak-anak Tanpa Dokumen dan Diplomasi Sunyi
Tulisan kedua Arya bertajuk "Pemulangan 7 Anak Pekerja Migran Indonesia Overstayer (PMIO) dari Taiwan", yang ditayangkan pada 31 Juli 2023, merupakan catatan reflektif atas misi kemanusiaan yang ia jalani di Taipei pada Juli 2023.
Dalam narasinya, Arya menggambarkan betapa rumit dan sensitifnya tugas memulangkan tujuh anak pekerja migran. usia 3 hingga 7 tahun yang ditelantarkan oleh orang tua mereka di sebuah panti asuhan di Taiwan. Mayoritas dari anak-anak itu lahir dari hubungan tidak resmi dan hidup tanpa dokumen legal, membuat mereka tidak bisa mengakses pendidikan formal di negeri asing itu.
Lebih dari sekadar tugas diplomatik, Arya menggambarkan bagaimana ia dan tim dari Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), Kementerian Sosial, serta KDEI Taipei harus menjalankan misi itu dalam bayang-bayang keterbatasan diplomasi.
“Keberangkatan kami pun harus memperoleh clearance dari Direktorat Keamanan Diplomatik, di mana kami diingatkan agar tidak membawa atribut kenegaraan... serta menjaga sifat kunjungan ke Taiwan sebagai kunjungan tidak resmi,” tulis Arya.
Ia menggunakan paspor hijau bukan paspor diplomatik dan tak membawa simbol negara. Diplomasi dijalankan dalam senyap, dengan perasaan cemas tetapi penuh tekad.
Arya juga mengenang momen-momen menyentuh bersama anak-anak tersebut kesulitan komunikasi karena bahasa, hingga kecerdasan dan kenakalan polos seorang anak bernama Gibran. Perjalanan mereka berakhir di Sentra Handayani, Kemensos, tempat anak-anak itu akhirnya mendapatkan tempat yang layak.
“Saya dikirimkan foto anak-anak tersebut dengan wajah ceria… membuat saya lega mengetahui bahwa mereka diperlakukan dengan penuh kasih sayang,” tutup Arya dalam tulisannya yang emosional.
Tragedi di Menteng: Kematian yang Meninggalkan Tanda Tanya
Kematian Arya Daru Pangayunan mengundang perhatian luas. Ia ditemukan dalam kondisi mengenaskan kepala dan wajah dibungkus lakban, tubuh berselimut, tergeletak di atas kasur kamar kosnya. Lokasi tempat tinggalnya berada di kawasan elite Menteng, namun nyawanya melayang di tengah misteri.
Polisi saat ini tengah melakukan penyelidikan intensif. Beberapa saksi telah diperiksa, dan rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian sedang dianalisis. Jenazah telah dibawa ke RSCM untuk proses autopsi. Belum ada keterangan resmi mengenai motif atau dugaan pelaku pembunuhan. Namun, pihak kepolisian menyatakan tidak menutup kemungkinan unsur pidana.
Warisan Pemikiran Seorang Diplomat Ideal
Kepergian Arya tidak hanya menjadi duka bagi keluarga dan kolega di Kementerian Luar Negeri, tetapi juga kehilangan bagi dunia diplomasi Indonesia yang tengah menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Dalam usia 39 tahun, Arya telah memperlihatkan bahwa diplomasi bukan hanya soal meja perundingan, tetapi juga tentang empati, keberanian menyuarakan keadilan, dan keberpihakan terhadap mereka yang terpinggirkan.
Dua tulisannya kini menjadi refleksi tajam atas dua sisi wajah Indonesia: kekayaan alam dan tantangan sosial yang belum selesai. Dari laut biru Papua hingga lorong sempit panti asuhan di Taiwan, Arya hadir dan menulis merekam nurani seorang diplomat yang bekerja dalam senyap.
Kini, suaranya telah bisu. Namun gagasannya, kisahnya, dan perjuangannya masih berbicara lantang bagi siapa pun yang peduli pada Indonesia yang lebih manusiawi.
(Mond)
#PenemuanJasadDiplomatKemenlu #Peristiwa #Nasional #AryaDaruPangayunan