Breaking News

Mbah Jum: Sang Buta Cahaya, yang Membuat Iri Bidadari Langit

Mbah Jum, Penduduk Bumi yang Bikin Iri Bidadari Langit



Dirgantaraonline
Di sudut sebuah desa kecil di wilayah Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersembunyi sebuah kisah yang tak tercatat dalam buku sejarah, namun tercetak abadi dalam hati siapa pun yang pernah mengenalnya. Namanya Mbah Jum seorang perempuan tua tunanetra yang menjadi penjual tempe sekaligus pemijat bayi, dengan kehidupan yang begitu sederhana, namun bercahaya oleh cahaya Tuhan yang tak terlihat.

Saya pernah bertemu dengannya lima tahun lalu. Nama desanya telah pudar dari ingatan, namun sosok dan ketulusan Mbah Jum tetap lekat dalam sanubari saya. Dan kisah ini bukan sekadar catatan nostalgia. Ini adalah pelajaran hidup. Pelajaran tentang bagaimana manusia bisa menjadi sangat mulia, justru saat ia melepaskan diri dari dunia yang terlalu sibuk menghitung untung rugi.

Pedagang Tempe yang Bersholawat

Setiap pagi, Mbah Jum diantar cucunya ke pasar. Ia tuna netra sejak lahir, tapi itu tak menghalanginya untuk tetap berikhtiar dengan penuh semangat. Tempe-tempe hasil olah tangannya ditata rapi di atas tampah kecil. Sambil menunggu pembeli, ia tak pernah sibuk mengeluh, tak pernah ikut larut dalam obrolan kosong sesama pedagang. Ia lebih memilih melantunkan sholawat pelan-pelan. Bibir keriputnya bergerak tenang. Hatinya seakan menyatu dengan langit.

“Ya Nabi salam ‘alaika... Ya Rasul salam ‘alaika…”

Dan begitulah rutinitasnya setiap hari. Dagangan tempe-nya, entah bagaimana, selalu ludes tak sampai dua jam. Bahkan ia kerap menjadi pedagang pertama yang pulang dari pasar. Namun yang lebih mengherankan, bukan cepatnya dagangan habis, melainkan prinsip hidup yang ia pegang: tidak pernah ingin membawa pulang uang lebih dari Rp50.000.

Sang cucu yang juga bekerja sebagai kuli panggul di pasar itulah yang mencatat hasil dagangannya. Jika uang yang terkumpul hari itu lebih dari Rp50.000, maka sisanya harus dimasukkan ke kotak amal masjid. Bukan karena diminta siapapun. Tapi karena begitu keyakinan Mbah Jum.

“Modal simbah bikin tempe cuma dua puluh ribu. Harusnya untung simbah ya maksimal lima puluh ribu. Kalau lebih dari itu, berarti itu bukan hak simbah. Itu rezekinya Gusti Allah. Jadi harus dikembalikan ke rumah-Nya,” begitu penjelasan polos sang cucu.

Saya sempat bingung. “Tapi kan tempenya mungkin dibawa lebih banyak dari biasanya?”

“Enggak, mbak,” jawab cucunya, “tempenya selalu sama tiap hari. Tapi banyak orang beli, lalu ngasih uang lebih. Ada yang beli lima ribu tapi ngasih dua puluh ribu. Dan semuanya bilang, ‘nggak usah kembali, Mbah.’”

Satu hari, bahkan Mbah Jum mendapatkan uang Rp350.000. Dan apa yang ia lakukan? Tiga ratus ribunya langsung dimasukkan ke kotak amal masjid.

Pelayan Umat 24 Jam Tanpa Tarif

Selain menjual tempe, Mbah Jum juga dikenal sebagai tukang pijat bayi. Orang-orang kampung menyebutnya demikian karena kepiawaiannya merawat bayi yang demam, batuk, pilek, hingga kejang dan muntah. Ia juga membantu orang dewasa yang mengalami keseleo, memar, atau patah tulang.

Namun yang membuat saya tercengang, ia tak pernah mematok bayaran. Bahkan ketika ada orang yang memberinya uang sebagai ucapan terima kasih, ia tak menyimpan sepeser pun. Semua 100% ia masukkan kembali ke kotak amal masjid.

“Kenapa, Mbah?” tanya saya, tak tahan menyimpan rasa penasaran.

Dengan senyum tulus, ia menjawab dalam bahasa Jawa halus yang begitu menyejukkan:

"Kulo niki mboten pinter mijet. Nek wonten sing waras mergo dipijet kaleh kulo, niku dudu kulo sing ndamel waras, niku kersane Gusti Allah. Dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh Gusti Allah."


(Saya ini tidak pandai memijat. Kalau ada yang sembuh karena pijatan saya, itu bukan karena saya, tapi karena Gusti Allah. Maka bayarannya bukan ke saya, tapi ke Gusti Allah).

Jawaban itu seperti petir menyambar ke dalam hati saya. Betapa Mbah Jum telah mencapai tingkat spiritualitas dan keikhlasan yang barangkali tak bisa dikejar oleh mereka yang hidup di menara-menara prestise dan pendidikan tinggi.

Butanya Mata, Terang Hatinya

Sebagai tuna netra sejak lahir, Mbah Jum tak bisa membaca atau menulis. Namun yang membuat saya terperangah — ia hafal 30 juz Al-Qur’an. Tidak satu dua surat. Tapi seluruh isi Al-Qur’an. Dari Al-Fatihah sampai An-Nas.

Ketika saya tanya bagaimana bisa hafal, ia menjawab sederhana:

"Kulo niki tiang kampong. Mboten saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane Gusti Allah, kulo diparingi berkah saget apal Quran. Gusti Allah niku adil banget kaleh kulo."


(Saya ini orang kampung. Tidak bisa melihat apapun sejak bayi. Tapi alhamdulillah atas kehendak Allah, saya diberi keberkahan bisa hafal Al-Qur’an. Gusti Allah itu benar-benar adil kepada saya).

Saya termenung. Dunia yang saya kenal terlalu berisik dengan target, ambisi, dan uang. Di zaman di mana bahkan rasa sakit bisa dijadikan lahan bisnis, Mbah Jum justru memilih menjadi pelayan umat, bahkan saat dirinya sendiri kekurangan.

Dan saat saya pamit, saya memeluk tubuh ringkihnya. Wajahnya bersih, keriputnya indah. Dalam hati saya yakin — kelak, para bidadari surga akan iri padanya. Sebab mereka akan melayani manusia semulia ini.

Dunia Boleh Buta, Tapi Jangan Butakan Hati

Di tengah dunia yang sibuk mengejar kemewahan, Mbah Jum hadir sebagai penyeimbang. Ia tidak viral. Tidak terkenal. Tapi ia hidup dengan begitu jujur, ringan, dan tulus. Ia tidak meminta balasan. Tidak pula menuntut pengakuan.

Kisah Mbah Jum bukan sekadar tentang seorang nenek tua tunanetra. Ini adalah kisah tentang kearifan yang tak diajarkan di sekolah, tentang kesalehan yang tak dicatat oleh algoritma, dan tentang cinta sejati pada Tuhan yang tak bisa diukur oleh apapun  kecuali oleh langit itu sendiri.

Jika Anda hari ini sedang sibuk mengejar dunia, mungkin sudah waktunya berhenti sejenak. Tarik napas. Ingat kembali untuk apa kita hidup. Karena seperti Mbah Jum, kadang kita hanya perlu bersholawat dan berbagi, agar hidup kembali berarti.

*) Kisah ini ditulis oleh Irene Rajiman

Editor: Rini Abidin

#KisahInspiratif #MbahJum #Tokoh