Dua Polisi di Jambi Tuntut 15 Tahun Penjara Usai Tewaskan Pemuda dalam Kasus Rekayasa Kematian: Satu Pernah Terjerat Narkoba
Ilustrasi polisi. Foto: Shutterstock
D'On, Muaro Jambi – Tragedi memilukan kembali mencoreng institusi kepolisian. Dua anggota Polsek Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi Bripka Yuyun Sanjaya dan Brigadir Faskal kini duduk di kursi terdakwa karena diduga melakukan penganiayaan brutal hingga merenggut nyawa seorang pemuda, Ragil Alfarizi (20).
Peristiwa itu terjadi pada 4 September 2024, namun keadilan baru mulai ditegakkan hampir setahun kemudian. Pada Jumat, 18 Juli 2025, dalam sidang di Pengadilan Negeri Sengeti, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut keduanya dengan hukuman 15 tahun penjara.
“Meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan penjara selama 15 tahun,” ujar jaksa Dendy Jourdy, membacakan tuntutan yang juga ditegaskan rekannya, Reyn Chusnen, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (19/7).
Dakwaan Berat: Pembunuhan, Penyalahgunaan Wewenang, dan Masyarakat Resah
Dalam surat tuntutannya, jaksa menyatakan bahwa Bripka Yuyun dan Brigadir Faskal terbukti melakukan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, sesuai dakwaan primer.
Tindakan mereka dinilai sangat memberatkan karena:
- Mengakibatkan hilangnya nyawa seorang pemuda.
- Menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
- Merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebagai aparat penegak hukum.
Namun yang paling mencengangkan, jaksa mengungkap bahwa terdakwa Bripka Yuyun Sanjaya pernah terlibat kasus narkoba dan telah menjalani hukuman atas kasus tersebut.
“Tidak ada hal yang meringankan bagi terdakwa,” tegas jaksa.
Jaksa juga meminta agar kedua terdakwa tetap berada dalam tahanan selama proses hukum berjalan, dengan masa tahanan dikurangkan dari total hukuman apabila nantinya diputus bersalah oleh hakim.
Sidang akan dilanjutkan pada 21 Juli 2025 mendatang dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari pihak terdakwa.
Awal Mula Tragedi: Salah Tangkap, Salah Prosedur, Berujung Maut
Peristiwa tragis yang menewaskan Ragil Alfarizi bermula dari penangkapan yang janggal dan tidak prosedural. Korban ditangkap atas dugaan mencuri laptop milik Kepala SD Negeri 35 Desa Tanjung, namun tak ada laporan polisi resmi maupun barang bukti atas tuduhan itu.
Saat itu, Ragil sedang bermain catur bersama temannya. Tanpa surat tugas, tanpa dasar hukum yang sah, dua anggota polisi tersebut menggiringnya ke Mapolsek Kumpeh Ilir.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jambi, Kombes Andri Ananta Yudhistira, bahkan mengakui bahwa tindakan anggotanya dalam penangkapan tersebut tidak profesional.
“Yang dilakukan anggota kami tidak profesional. Mereka hanya merespons sebuah informasi, bukan laporan atau pengaduan resmi,” ujarnya saat konferensi pers, Minggu (29/9/2024).
Dianiaya di Dalam Sel, Lalu Dibunuh Dua Kali: Fisik dan Nama Baik
Korban dibawa ke tahanan sekitar pukul 21.00 WIB. Di dalam sel, Ragil diduga dianiaya habis-habisan oleh Yuyun dan Faskal. Tak hanya dihajar, pemuda itu akhirnya meninggal dunia akibat kekerasan tersebut.
Namun tragedi belum berhenti di situ.
Ketika menyadari korban telah tewas, kedua polisi tersebut dilanda kepanikan. Mereka kemudian diduga merekayasa peristiwa kematian seolah-olah Ragil:
- Dianiaya oleh sesama tahanan.
- Meninggal karena bunuh diri di dalam sel.
Rekayasa ini sempat membuat publik bingung dan keluarga korban bertanya-tanya. Namun autopsi dan penyelidikan internal membuka fakta bahwa luka-luka pada tubuh Ragil tak sesuai dengan narasi yang dibangun kedua polisi itu.
Luka yang Belum Sembuh: Kepercayaan Publik dan Luka Keluarga
Kematian Ragil Alfarizi bukan hanya soal hilangnya satu nyawa muda yang penuh potensi, melainkan juga cermin suram institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.
Keluarga korban hingga kini masih menuntut keadilan dan transparansi. Mereka menyebut bahwa Ragil bukan pencuri, melainkan korban dari kesewenang-wenangan aparat yang bertindak bak hakim jalanan.
Kematian ini pun menambah daftar panjang kasus kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan.
Ketika Polisi Jadi Algojo
Sidang yang sedang bergulir ini menjadi pertaruhan bagi citra Polri. Apakah keadilan bisa ditegakkan ketika pelakunya adalah aparat sendiri? Atau publik harus kembali gigit jari?
Yang pasti, kasus ini menyisakan pelajaran bahwa kekuasaan tanpa pengawasan hanya akan melahirkan tirani bahkan di balik seragam coklat yang seharusnya menjamin rasa aman.
Ragil Alfarizi telah tiada. Kini publik menanti: apakah keadilan benar-benar bisa ditegakkan atau hanya sekadar slogan yang dikumandangkan saban apel pagi.
(Mond)
#Penganiayaan #Kriminal #Jambi #OknumPolisiAniayaWatga