Breaking News

DPR Semprot MK soal Putusan Pemilu Terpisah : “Jangan 500 Orang Kalah oleh 9 Hakim”

KOMISI III DPR RI RAKER DENGAN KETUA MK, KY, DAN MA RI. Youtube/ Komisi III DPR RI Channel

D'On, Jakarta —
Suasana ruang rapat Komisi III DPR RI memanas, Rabu (9/7/2025). Kritik tajam dilontarkan sejumlah legislator terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul putusan kontroversial yang memisahkan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah pada 2029. Tak hanya dianggap membingungkan publik, keputusan MK juga dinilai tidak konsisten dan berpotensi menimbulkan instabilitas hukum serta politik.

Sorotan paling keras datang dari Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Hasbiallah Ilyas. Ia mempertanyakan konsistensi MK dalam mengeluarkan putusan, khususnya soal penyelenggaraan pemilu yang dianggap terus berubah-ubah setiap periodenya. Menurutnya, inkonsistensi itu tak hanya menambah kerumitan teknis, tetapi juga menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Pemilu itu sudah berapa kali, dan setiap kali digelar, aturannya diubah. Dari 2009 berubah, sekarang untuk 2029 diubah lagi. Ini membuat masyarakat bingung dan resah. Saya pikir seleksi hakim konstitusi perlu lebih ketat lagi,” ujar Hasbiallah dengan nada tinggi.

Namun kritik Hasbiallah tak berhenti sampai di situ. Ia bahkan membandingkan kewenangan sembilan hakim MK dengan 500 anggota DPR yang menurutnya justru lebih representatif karena dipilih langsung oleh rakyat.

“Masa 500 anggota DPR kalah dengan 9 hakim? Kita buat KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sudah bertahun-tahun belum rampung. Tapi satu putusan MK bisa langsung mengubah arah hukum dan politik nasional,” tegasnya, mempertanyakan logika kekuasaan lembaga yudisial tersebut.

Nada senada juga disuarakan oleh Andi Muzakkir, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat. Ia meminta MK agar berhenti bersikap plin-plan dalam membuat keputusan penting, terutama yang menyangkut sistem pemilu nasional.

“MK harus konsisten dalam membuat putusan. Jangan tahun ini putusannya A, periode berikutnya jadi B. Contoh: satu waktu pemilu serentak, lalu dipisah. Ini bukan soal teknis semata, tapi soal arah bangsa,” jelas Muzakkir.

MK Bungkam, Tunggu Sikap DPR

Menanggapi kritik bertubi-tubi dari para anggota dewan, Sekretaris Jenderal MK, Heru Setiawan, memilih irit bicara. Ditemui usai rapat, Heru menegaskan bahwa tugas MK sudah selesai dengan mengeluarkan putusan, dan kini bola panas berada di tangan DPR.

“Putusan MK sudah diucapkan, kami tinggal menunggu tindak lanjut dari DPR. Karena DPR juga punya kewenangan legislatif dalam menyusun undang-undang,” ujarnya singkat kepada awak media.

Asal-Usul Kontroversi: Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024

Polemik ini bermula dari putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Inti putusan tersebut adalah memisahkan penyelenggaraan Pemilu Nasional (Pilpres dan Pileg) dari Pemilu Daerah (Pilkada) mulai 2029.

Putusan itu memicu perdebatan luas. Pendukungnya menilai pemisahan dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah dan nasional, serta mengurangi beban administratif pemilu. Namun, kritik menyebut keputusan tersebut berisiko memperbesar ongkos politik, memecah konsentrasi pemilih, serta memperpanjang proses transisi kekuasaan.

Pertarungan Konstitusional: Siapa Lebih Berdaulat?

Pernyataan “jangan sampai 500 orang kalah dengan 9 hakim” bukan hanya retorika, melainkan cermin dari ketegangan mendasar antara legislatif dan yudikatif dalam sistem demokrasi Indonesia. MK memang memiliki kewenangan konstitusional untuk menafsirkan undang-undang, tapi DPR lah yang membuat dan mengesahkannya.

Pertanyaan yang kini mengemuka: apakah putusan MK mencerminkan aspirasi rakyat, atau justru menabraknya? Dan lebih jauh lagi: apakah perubahan fundamental dalam sistem pemilu layak diputuskan oleh sembilan orang saja, tanpa melibatkan partisipasi lebih luas?

Catatan Redaksi:
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, kritik publik terhadap proses dan dampaknya merupakan bagian dari kontrol demokratis yang sah. Dalam konteks ini, perdebatan antara DPR dan MK bukan sekadar konflik antar-lembaga, melainkan pertarungan wacana tentang masa depan demokrasi Indonesia.

(Mond)

#PutusanMK #Nasional #PemiluTerpisah #Politik #MahkamahKonstitusi #DPRRI