Breaking News

Kontroversi Operasi TNI di Papua: Kapuspen Klaim Tak Ada Korban Sipil, OPM dan PGI Punya Cerita Berbeda

Anggota Satgas Koops TNI Habema Kogabwilhan III mengevakuasi jenazah guru korban serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, 23 Maret 2025. Satgas Koops TNI Habema Kogabwilhan III berhasil mengevakuasi tenaga pengajar dan tenaga kesehatan pasca serangan OPM di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan pada 21 Maret 2025 yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia, enam orang luka-luka, serta rusaknya fasilitas pendidikan. Antara/HO-Dispenad

D'On, Jakarta
Pernyataan tegas kembali dilontarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait operasi militer di Intan Jaya, Papua. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Kristomei Sianturi, menyatakan bahwa tidak ada satu pun warga sipil yang menjadi korban dalam operasi penindakan militer di Distrik Sugapa dan Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Menurutnya, seluruh korban yang jatuh dalam operasi tersebut merupakan anggota milisi dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

"Delapan belas korban itu seluruhnya adalah anggota OPM, dan sudah terkonfirmasi," ujar Kristomei dalam pernyataan resminya pada Senin, 19 Mei 2025.

Namun, di balik klaim tersebut, tidak ada penjelasan rinci mengenai metode identifikasi yang digunakan untuk memastikan status para korban sebagai anggota OPM. Absennya transparansi ini memunculkan pertanyaan, terutama karena keterangan dari pihak-pihak lain mengungkap narasi yang sangat berbeda.

Versi Berbeda dari OPM: "Ada Korban Sipil, Termasuk Anak-Anak"

Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom, membantah klaim TNI. Ia mengakui bahwa tiga anggotanya tewas dalam kontak senjata, yakni Gus Kogoya, Notopinus Lawiya, dan Kanis Kogoya. Selain itu, dua lainnya  Tinus Wonda dan Ndundu Mirip  mengalami luka-luka. Namun, menurut Sebby, korban dalam operasi tersebut bukan hanya anggota OPM.

Dia menyebutkan bahwa total korban jiwa mencapai 18 orang, namun mayoritas justru berasal dari kalangan sipil. Tiga warga sipil dikabarkan tewas karena diculik dan dieksekusi oleh aparat militer pada dini hari saat operasi digelar. Lebih dari itu, enam warga lainnya disebut juga sempat diculik, namun berhasil melarikan diri ke hutan. Empat warga lainnya mengalami luka tembak, salah satunya seorang anak kecil.

"Operasi ini bukan hanya menyasar kami, tetapi juga warga. Mereka dipaksa meninggalkan kampungnya, tak bisa ke kebun, dan hidup dalam ketakutan," ungkap Sebby melalui pernyataan tertulis.

PGI Turut Bersuara: Tiga Nama Warga Sipil Diungkap

Narasi keberadaan korban sipil dalam operasi militer di Intan Jaya tak hanya datang dari OPM. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), melalui Kepala Biro Papua, Pendeta Ronald Rischard, menyampaikan temuan yang menguatkan keterangan OPM. PGI menerima laporan dari jaringan Gereja Kemah Injil yang berada dekat lokasi kejadian. Laporan itu menyebutkan bahwa ada tiga warga sipil yang menjadi korban: Evangelis Elisa Wandagau, Mono Tapamina, dan Kepala Desa Hitadipa, Ruben Wandagau.

"Data ini kami terima dari jaringan gereja yang berada di wilayah tersebut, namun kami masih menelusuri apakah ketiganya termasuk dalam daftar 18 korban yang dilaporkan TNI," ujar Ronald.

Narasi yang Bertolak Belakang: Siapa yang Menyampaikan Kebenaran?

Klaim-klaim yang bertolak belakang ini memunculkan pertanyaan besar: siapa yang menyampaikan fakta yang sebenarnya? Kristomei menuding bahwa pernyataan OPM merupakan bagian dari propaganda yang kerap digunakan kelompok separatis untuk memanipulasi opini publik.

"Ketika anggota mereka tewas, mereka katakan itu warga sipil. Tapi saat mereka membunuh guru atau tenaga kesehatan yang jelas sipil, mereka bilang itu TNI," ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa penyebaran informasi hoaks oleh OPM bertujuan untuk menakut-nakuti masyarakat, agar tak berani keluar rumah atau berkebun.

Namun di sisi lain, laporan dari lembaga independen seperti PGI serta saksi-saksi lokal memberi sinyal bahwa situasi di lapangan tidak sesederhana yang diklaim militer. Ketidakterbukaan terhadap identitas korban, serta tidak adanya verifikasi independen, menjadikan pertarungan narasi ini jauh dari selesai.

Operasi TNI Digelar di Lima Kampung

Operasi penindakan militer di Distrik Sugapa dan Hitadipa terjadi pada Rabu dini hari, 14 Mei 2025. Lima kampung yang menjadi lokasi operasi itu ialah Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba. Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai dampak operasi terhadap warga sipil, seperti jumlah pengungsi, kondisi fasilitas publik, atau akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan pasca operasi.

Desakan untuk Transparansi dan Investigasi Independen

Situasi ini mengundang sorotan dari berbagai kalangan. Lembaga HAM dan kelompok masyarakat sipil mendesak agar dilakukan investigasi independen terhadap peristiwa tersebut. Mereka menilai penting adanya verifikasi fakta di lapangan, dengan melibatkan lembaga netral yang dipercaya kedua belah pihak, demi memastikan bahwa kebenaran tidak terkubur dalam konflik narasi yang semakin liar.

Selama puluhan tahun konflik bersenjata di Papua, ketidakjelasan informasi dan saling tuding menjadi pola yang berulang. Di tengah situasi tersebut, warga sipil tetap menjadi pihak yang paling rentan: menjadi korban, terjebak di antara dua pihak, dan kehilangan hak untuk hidup damai di tanah sendiri.

(*)

#OPM #KKB #TNI #TPNPB