Breaking News

Ketua Dewan Pers Soroti Krisis Media:Media Terpuruk, Dewan Pers Minta Pemerintah Ubah Pola Kerja Sama

Ketua Dewan Pers Periode 2020 2025, Ninik Rahayu (Dok: Istimewa)

D'On, Jakarta
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang digelar pada Sabtu, 3 Mei 2025, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyampaikan seruan tegas kepada pemerintah: hentikan praktik membeli pemberitaan dan berikan perhatian serius terhadap keberlangsungan media massa di Indonesia.

Dalam pidatonya yang disampaikan melalui kanal YouTube Komite Jurnalisme Berkualitas dan disaksikan publik pada Senin, 5 Mei 2025, Ninik menyoroti situasi darurat yang tengah dialami industri media. Ia menyebut bahwa ekosistem media nasional kini berada dalam kondisi mengkhawatirkan, dihantam gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), penurunan pendapatan iklan, dan pergeseran perhatian publik ke platform digital non-jurnalistik.

"Media sedang menghadapi badai," ujar Ninik membuka pidatonya. "Sementara anggaran pemerintah justru lebih banyak dialokasikan untuk media sosial dan konten kreator, bukan media jurnalistik yang menjalankan fungsi kontrol sosial dan menyuarakan kepentingan publik."

Ia mengkritik keras pola kerja sama antara pemerintah dan media yang menurutnya sudah saatnya dirombak total. Dalam pandangannya, pemerintah harus mulai memikirkan ulang kebijakan distribusi anggaran iklan agar tidak hanya menyasar kanal-kanal digital seperti YouTube atau TikTok, tetapi juga menyokong keberlanjutan media konvensional—tentu dengan syarat fundamental: independensi redaksi tidak boleh dikompromikan.

“Saya mohon, ubah cara kerja sama itu,” kata Ninik dengan nada tegas. “Boleh pemerintah memasang iklan di media, tapi jangan pernah membeli isi beritanya. Jangan mencampuri ruang redaksi.”

Pernyataan itu bukan tanpa alasan. Menurut Ninik, ada kecenderungan kekuasaan untuk mengendalikan narasi media melalui iklan dan kerja sama sponsor. Ketika media menerima anggaran negara, muncul risiko bahwa independensinya tergadaikan. Ia menolak keras jika praktik semacam ini terus dilanggengkan.

“Kita tidak ingin ada media yang diberi label 'disukai pemerintah' hanya karena memberitakan hal-hal yang menyanjung. Jurnalistik sejati menyuarakan fakta, bukan membangun citra,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa praktik intervensi terhadap pemberitaan oleh pemberi anggaran, terutama dari pemerintah pusat, dapat menjadi preseden buruk yang direplikasi hingga ke tingkat daerah. Jika pusat membiarkan media dibelah berdasarkan loyalitas terhadap pengiklan negara, maka demokrasi berada dalam ancaman serius.

“Jangan sampai ada pengkategorian media: yang disenangi dan yang tidak, hanya karena soal iklan,” katanya. “Karena ini yang terjadi di pusat akan ditiru di daerah.”

Ninik juga menekankan peran ganda media sebagai entitas bisnis sekaligus sebagai salah satu pilar demokrasi keempat. Ia menilai, justru karena kompleksitas peran ini, negara harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga batas antara ruang redaksi dan ruang komersial.

“Pemerintah punya tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjaga pagar api antara kepentingan bisnis dan suara publik,” pungkasnya. “Kontrak kerja sama, berapapun besarannya, tidak boleh menjadi tiket untuk mengatur arah pemberitaan.”

Pesan Ninik Rahayu bukan hanya peringatan, tetapi juga ajakan: agar negara kembali menghormati dan melindungi ruang redaksi dari intervensi kekuasaan. Di tengah gelombang digitalisasi dan disrupsi media, suara-suara jurnalis yang menyuarakan kebenaran tidak boleh tenggelam hanya karena kalah saing anggaran dengan influencer atau YouTuber.

(Mond)

#DewanPers #PerusahaanMedia #Nasional