Breaking News

Catatan Suram 27 Tahun Reformasi: Keadilan HAM yang Terus Dikubur dalam Janji

Warga melintasi foto-foto mendiang aktivis HAM dalam acara Panggung Rakyat Bongkaaar di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (9/12/2023). ANTARA FOTO

Dirgantaraonline - 
Hari ini, 21 Mei 2025, genap 27 tahun usia reformasi sebuah era yang lahir dari gelombang darah dan air mata, dari jeritan mahasiswa di jalanan, dan dari desakan rakyat yang lelah hidup dalam kungkungan kediktatoran Orde Baru. Namun setelah lebih dari seperempat abad berlalu, sebuah pertanyaan getir menggantung di udara: di mana keadilan yang dijanjikan?

Dari Harapan ke Kekecewaan: Reformasi yang Dilumpuhkan oleh Kekuasaan

Reformasi 1998 memang memantik harapan besar. Runtuhnya rezim Soeharto disambut dengan euforia pembebasan dari represi, sensor, dan militerisme. Presiden B.J. Habibie membuka kran demokrasi dan kebebasan pers, diikuti oleh Gus Dur yang berani mengebiri peran militer dalam kehidupan sipil. Megawati mengawal amandemen UUD 1945 yang memperkuat prinsip trias politika.

Namun, sejak itu, lampu reformasi mulai meredup. Supremasi sipil yang dulu diagung-agungkan kini hanya jadi jargon kosong. Partai politik anak kandung reformasi berkembang biak bukan sebagai penjaga demokrasi, tapi sebagai kendaraan kekuasaan yang sarat transaksi dan oportunisme. Politik berubah menjadi pasar, bukan lagi arena ide dan gagasan.

KPK yang Dihancurkan, Militer yang Kembali Menancapkan Kukunya

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menjadi garda depan. Namun bahkan saat itu, korupsi tetap menggurita. Di era Presiden Joko Widodo, KPK mengalami pembusukan dari dalam pemimpinnya menjadi tersangka suap, dan revisi UU KPK menjadi palu godam yang menghancurkan independensi lembaga antirasuah tersebut.

Lebih dari itu, militer kembali merambah ruang-ruang sipil, bahkan menjelma sebagai kekuatan paralel dalam pemerintahan. Tentara dilibatkan dalam proyek-proyek strategis, pembangunan food estate, hingga urusan pertanian dan pendidikan. Polisi, alih-alih melindungi warga, digunakan untuk membungkam ekspresi sipil, sering kali secara brutal.

Demokrasi bukan hanya pincang ia kini nyaris lumpuh.

Pemilu 2024: Luka Konstitusi yang Belum Mengering

Pemilu 2024 menjadi potret kelam berikutnya. Dugaan kecurangan mewarnai jalannya proses elektoral. Mahkamah Konstitusi, lembaga yang seharusnya menjadi benteng konstitusi, malah berubah menjadi alat pembengkok hukum. DPR hanya menjadi cap stempel kekuasaan eksekutif, tanpa daya kritis dan kontrol.

Apakah ini wajah reformasi yang dulu diperjuangkan? Jika ya, maka kita sedang menyaksikan reformasi yang digilas oleh sejarah yang justru berulang.

Era Prabowo: Militerisasi Berbalut Demokrasi

Tampuk kekuasaan kini dipegang oleh Presiden Prabowo Subianto, sosok yang di masa lalu turut disorot dalam berbagai kasus pelanggaran HAM. Sayangnya, awal pemerintahannya tidak menunjukkan komitmen kuat pada agenda reformasi. Sebaliknya, revisi UU TNI justru memperlebar peran militer di ranah sipil: dari pengamanan sekolah, pengawasan pengadilan, hingga produksi makanan anak.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menyoroti fenomena militerisasi pendidikan yang semakin meresahkan. Anak-anak sekolah dikirim ke barak militer atas nama pendisiplinan. Ini bukan hanya bentuk pengaburan fungsi militer, tapi juga penghinaan terhadap prinsip kebebasan berpikir.

“Kita tidak sedang menuju negara demokratis, kita sedang meluncur ke arah yang sebaliknya. Supremasi sipil sedang dikubur hidup-hidup,” tegas Usman.

Kampus Didatangi Aparat: Kebebasan Akademik dalam Bahaya

Kunjungan aparat ke kampus, seperti di UIN Walisongo Semarang dan Universitas Indonesia, menunjukkan sinyal alarm: kampus, benteng nalar dan kebebasan berpikir, kini tak lagi aman dari intervensi kekuasaan. Reformasi tidak dilahirkan untuk menyaksikan aparat mengawasi ruang-ruang intelektual.

HAM: Janji yang Terus Digantung di Langit Retoris

Jika ada aspek paling menyedihkan dari era reformasi, maka itu adalah gagalnya negara menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ada 17 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM, mulai dari Tragedi 1965, Trisakti, Semanggi, Mei 1998, hingga Paniai 2014. Dari jumlah itu, hanya empat yang diseret ke pengadilan, dan semuanya berujung pembebasan pelaku.

Di mana keadilan bagi korban? Di mana suara negara ketika keluarga korban terus menuntut hak mereka atas kebenaran dan pemulihan?

Pada 2023, pemerintah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat. Tapi pengakuan tanpa proses hukum yang nyata, hanya menjadi upacara kata-kata tanpa makna. Tim penyelesaian non-yudisial yang dibentuk pada masa Jokowi justru sudah tidak aktif sejak Desember 2023. Hingga kini, tak ada tanda-tanda diperbarui.

Hukum Dikebiri, Kekuasaan Dimonopoli

Menurut Halili Hasan dari SETARA Institute, kemunduran reformasi berakar dari monopoli kekuasaan politik. Cabang-cabang kekuasaan tidak lagi seimbang. Otoritas politik tersentralisasi pada elite tertentu. Di sisi lain, kelas menengah dilumpuhkan, dan akar rumput dibungkam dengan politik bansos.

Sementara Asfinawati, pengajar hukum dari STH Jentera, menegaskan bahwa reformasi seharusnya menyingkirkan aktor-aktor dari rezim otoriter, seperti konsep lustration di negara-negara pasca-diktator. Tapi di Indonesia, mereka justru kembali memegang kuasa. Tanpa pembaruan komitmen, tanpa jaksa agung yang berani menuntut pelaku pelanggaran HAM, mimpi keadilan hanya tinggal mimpi.

Reformasi: Apakah Kita Masih Punya Harapan?

Hari ini, saat kita memperingati 27 tahun reformasi, kita dipaksa menatap wajah baru Indonesia wajah yang tak lagi mirip dengan cita-cita 1998. Jika tidak ada perubahan radikal dalam komitmen terhadap keadilan, supremasi sipil, dan demokrasi, maka reformasi hanya akan jadi catatan kaki sejarah yang dilupakan.

Bukan karena rakyat menyerah. Tapi karena kekuasaan yang terus menindas suara-suara yang berusaha mengingatkan.

Penulis: Osmond Abu Khalil 


#Opini #Reformasi