Banjir Korupsi dari Kader Parpol, KPK Dorong Skema Pendanaan Partai Lewat APBN
Ketua KPK Setyo Budiyanto.
D'On, Jakarta — Di balik gemerlap panggung politik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti kenyataan pahit yang terus berulang: korupsi yang melibatkan kader partai politik masih mendominasi daftar pelaku tindak pidana korupsi di negeri ini. Sebagai respons atas kenyataan tersebut, KPK kini menempatkan pendanaan partai politik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai salah satu strategi utama dalam upaya pencegahan korupsi sistemik.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Jubir KPK, Budi Prasetyo, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025), menjelaskan bahwa dari perspektif historis penanganan perkara, aktor-aktor politik seperti kepala daerah, anggota DPR, dan DPRD terus menempati posisi teratas dalam daftar pelaku korupsi.
“Masifnya keterlibatan aktor politik dalam berbagai kasus korupsi menjadi trigger utama bagi KPK untuk mengkaji ulang pendekatan pencegahan. Salah satunya melalui skema pendanaan politik yang sehat dan transparan,” ujar Budi.
Politik Mahal, Korupsi Mengintai
KPK memandang bahwa mahalnya biaya politik merupakan akar dari banyak praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Untuk bisa mencalonkan diri dalam pemilu, seorang kandidat perlu membiayai kampanye, logistik, dan konsolidasi internal partai yang semuanya kerap tak bisa ditutupi hanya dari dana pribadi atau bantuan legal.
Dalam situasi seperti ini, jalan pintas sering kali diambil. “Tingginya kebutuhan pembiayaan politik yang tidak didukung dengan pendanaan resmi dan cukup, mendorong para politisi mencari sumber dana dari jalur-jalur ilegal,” lanjut Budi.
KPK, kata dia, telah lama mengkaji pembiayaan partai politik, tetapi kajian itu kini diperbarui agar lebih relevan dengan dinamika terkini—terutama menjelang Pemilu 2029. Salah satu pendekatan yang kini tengah diintensifkan adalah membangun komunikasi langsung dengan partai politik, untuk mendengar langsung persoalan yang mereka hadapi di lapangan.
“Kita tidak ingin KPK hanya bicara dari menara gading. Oleh karena itu, kami ingin berdialog langsung dengan partai-partai peserta pemilu agar bisa belanja masalah dan merumuskan solusi yang tepat sasaran,” ujar Budi.
Rekomendasi yang Tak Didengar?
Sinyal untuk memperbesar pendanaan partai lewat APBN sebenarnya bukan baru pertama kali dilontarkan. Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menegaskan bahwa pihaknya sudah berulang kali mengusulkan hal ini ke pemerintah. Sayangnya, usulan tersebut hingga kini belum mendapat respons yang konkret.
“KPK sudah beberapa kali memberikan rekomendasi agar pemerintah menambah alokasi dana bagi partai politik. Tapi memang, implementasinya masih terbentur isu klasik: keterbatasan keuangan negara,” jelas Fitroh dalam sebuah webinar KPK bertema State Capture Corruption, Kamis (15/5/2025).
Menurut Fitroh, jika partai memiliki kecukupan dana dari sumber yang legal dan terukur, dorongan untuk melakukan korupsi demi menutup biaya politik dapat ditekan secara signifikan.
Hukum Sudah Mengatur, Tapi Masih Jauh dari Cukup
Sebagai informasi, sumber pendanaan partai politik sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ada tiga sumber legal yang diatur: iuran anggota, sumbangan sah dari individu atau badan usaha, dan bantuan dari APBN atau APBD.
Namun realisasinya sangat terbatas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018, bantuan tahunan dari negara hanya sebesar Rp 1.000 per suara sah yang diperoleh partai dalam Pemilu DPR. Angka ini dinilai terlalu kecil untuk menutup kebutuhan operasional partai, apalagi mendanai kaderisasi dan kampanye.
Dari sisi sumbangan, aturan membatasi donasi individu nonanggota parpol maksimal Rp 1 miliar dan korporasi maksimal Rp 7,5 miliar per tahun. Namun transparansi dan pengawasan terhadap aliran dana ini juga masih menjadi persoalan.
Menuju Reformasi Politik Substantif
KPK berharap bahwa skema pendanaan partai lewat APBN yang lebih besar dan akuntabel dapat menjadi jalan keluar dari siklus korupsi yang terus berulang. Namun untuk menuju ke sana, KPK menegaskan pentingnya keterlibatan semua pihak: partai politik, pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil.
“Rekomendasi KPK bukan untuk membesarkan partai secara instan, tapi untuk menutup celah-celah korupsi yang lahir dari kebutuhan politik yang mahal. Tujuan akhirnya adalah membangun sistem demokrasi yang sehat dan berintegritas,” tutup Budi.
Kini, bola berada di tangan pemerintah dan parlemen. Akankah mereka berani membuka lembaran baru reformasi politik Indonesia, atau tetap bertahan dalam sistem yang membiarkan politik dibajak oleh uang dan kekuasaan?
(Mond)
#KPK #Parpol #Korupsi #PartaiPolitik #Nasional