Ketika Bendera Kehormatan Berkibar di Atas Pusara: Membaca Ulang Lagu "Marawa"

Sitiina Hidayah, Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas
Dirgantaraonline - Ada momen dalam kehidupan ketika kebahagiaan dan kesedihan berdiri begitu dekat, hampir bersentuhan. Lagu Marawa karya Sexri Budiman yang dipopulerkan oleh Ratu Sikumbang adalah potret langka dari momen semacam itu saat sebuah karya yang menempatkan kita di persimpangan antara pesta dan pemakaman, antara harapan dan kehancuran.
Judul Marawa sendiri sudah membawa muatan makna yang tidak ringan. Dalam tradisi Minangkabau, marawa adalah bendera dengan tiga warna yaitu merah, kuning, hitam yang melambangkan martabat dan keagungan kaum. Kehadirannya dalam upacara adat bukan sekadar hiasan, melainkan pernyataan tentang siapa kita dan dari mana kita berasal. Maka ketika Sexri Budiman memilih kata ini sebagai judul, ia sebenarnya sedang mengundang kita masuk ke dalam ruang di mana kehormatan kolektif bertemu dengan luka pribadi yang paling dalam.
Kekuatan naratif lagu ini terletak pada permainan kontras yang hampir kejam. Tokoh denai yang merupakan tokoh utama perempuan digambarkan tengah bersiap dengan suntiang di kepala, simbol kemuliaan pengantin Minangkabau. Semua sudah siap, mulai dari adat, alek gadang, kehormatan kaum. Yang ditunggu hanyalah sosok uda di pelaminan. Tapi yang datang justru kabar yang menghancurkan segalanya.
Ungkapan "badan raso ndak batulang" menjadi salah satu pencapaian puitis tertinggi dalam lagu ini. Tubuh yang seolah kehilangan tulangnya bukan hanya metafora kelelahan fisik, tetapi gambaran tentang bagaimana duka yang mendalam bisa melumpuhkan seluruh eksistensi seseorang. Ini bukan kesedihan yang berteriak, melainkan kesedihan yang membuat seseorang hampir tidak bisa berdiri.
Ironi paling menusuk hadir ketika harapan tentang arak-arakan pengantin berubah menjadi iring-iringan jenazah: "Den arok baarak sabaliak kampuang, kironyo baarak kapusaro." Dua ritual yang seharusnya berada di ujung spektrum kehidupan yang Berbeda tiba-tiba melebur dalam satu hari yang sama. Di sinilah lagu ini melampaui sekadar kisah sedih dan menjadi refleksi filosofis tentang rapuhnya rencana manusia.
Namun, ada yang mengganjal dari cara lagu ini menggambarkan duka sang tokoh perempuan. Kesedihannya begitu sunyi, tertahan, hampir tidak bersuara. Ia tidak diberi ruang untuk meratap dengan lantang atau mempertanyakan takdir. Kesedihannya dibungkam oleh kemegahan adat yang sudah terlanjur berjalan.
Dalam perspektif sastra kontemporer, kesunyian ini bisa dibaca dua arah. Pertama, sebagai kekuatan estetis penggambaran duka yang tidak melodramatis justru lebih menyentuh. Kedua, sebagai cermin dari struktur sosial yang menempatkan kepentingan kolektif di atas ekspresi individual, terutama bagi perempuan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah adat memberi cukup ruang bagi manusia yang sedang hancur?
Sexri Budiman tidak menjawab pertanyaan ini. Ia memilih untuk menggambarkan, bukan menghakimi. Pilihan ini membuat lagu terasa dewasa secara artistik, namun juga meninggalkan ruang interpretasi yang luas bagi pendengarnya.
Penggunaan bahasa Minangkabau dalam lagu ini adalah pisau bermata dua. Bagi mereka yang tumbuh dengan budaya Minang, setiap kata membawa getaran emosional yang sulit diterjemahkan. Kata kapusaro (ke pusara) atau ratok tangih (ratapan tangis) bukan sekadar kosakata, melainkan pengalaman kolektif yang telah mengendap dalam ingatan budaya.
Namun bagi pendengar di luar konteks ini, sebagian kedalaman makna mungkin hilang karena lagu ini menuntut kepekaan kultural dari audiensnya yang menjadi sebuah kekuatan sekaligus keterbatasan. Ia berbicara kepada komunitas tertentu dengan sangat intim, tapi mungkin harus bekerja lebih keras untuk menyentuh mereka yang berada di luar lingkaran budaya tersebut.
Marawa bukanlah lagu daerah biasa yang sekadar menceritakan kisah lokal. Ia adalah teks sastra musikal yang kompleks, di mana simbol-simbol adat dihadapkan pada kerapuhan manusia yang paling tajam. Bendera kehormatan yang megah berkibar berdampingan dengan kain hitam duka, menjadi gambaran yang paradoks namun sangat manusiawi.
Yang membuat lagu ini terus relevan adalah keberaniannya untuk tidak memberikan jawaban mudah. Ia tidak menawarkan penghiburan klise atau resolusi yang menenangkan. Sebaliknya, ia meninggalkan kita dengan pertanyaan yang menggantung,` ketika tradisi berdiri kokoh dengan segala keagungannya, ke mana sebenarnya duka individual harus berlabuh?
Dalam lanskap musik populer Indonesia yang sering kali mengutamakan kelugasan pesan, Marawa berdiri sebagai pengingat bahwa kedalaman artistik tidak harus mengorbankan aksesibilitas. Lagu ini populer, sering dinyanyikan, namun setiap kali didengar, ia membuka lapisan makna baru. Itulah ciri karya sastra sejati, ia tidak pernah selesai berbicara.
Catatan tentang Lagu: Marawa diciptakan oleh Sexri Budiman, seorang pencipta lagu Minangkabau yang produktif dengan sekitar 150 karya dari tahun 1974 hingga 2014. Versi paling populer dinyanyikan oleh Ratu Sikumbang dan telah menjadi salah satu lagu Minangkabau paling ikonik. Lagu berdurasi sekitar 5 menit ini mengisahkan perubahan drastis dari persiapan pesta pernikahan (alek gadang) menjadi prosesi pemakaman akibat kematian calon pengantin laki-laki.
Penulis: Sitiina Hidayah, Mahasiswa Sastra Minangkabau Universitas Andalas
#Opini