Breaking News

Motif DPRD Pati di Balik Penyelamatan Sudewo dari Pemakzulan: Drama Politik, Lobi Fraksi, dan Kalkulasi Kekuasaan

Bupati Pati Sudewo menjalani pemeriksaan intensif selama hampir tujuh jam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 27 Agustus 2025.

D'On, Pati -
Ketegangan politik di Kabupaten Pati akhirnya mencapai puncaknya pada Jumat (31/10/2025). Setelah berbulan-bulan diwarnai demonstrasi, interpelasi, hingga sidang hak angket, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati akhirnya memutuskan untuk tidak memakzulkan Bupati Sudewo.

Namun di balik keputusan yang tampak tenang itu, tersembunyi kalkulasi politik yang rumit gabungan antara kepentingan, tekanan, dan kompromi yang disusun rapi di balik pintu tertutup ruang fraksi.

Sidang Paripurna Penuh Tegangan

Pukul 14.00 WIB, ruang paripurna DPRD Pati penuh sesak. Dari 50 anggota dewan, 49 hadir. Wajah-wajah tegang tampak di kursi fraksi, sementara aparat keamanan berjaga di luar gedung dengan kewaspadaan tinggi.
Di luar gedung, barisan warga dan aktivis masih berkumpul, menunggu nasib sang bupati yang sempat dituding sebagai “musuh rakyat” akibat kebijakan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen.

Satu per satu fraksi menyampaikan pandangan akhir.
Suasana berubah panas ketika Fraksi PDIP dengan lantang menegaskan sikapnya: mendorong pemakzulan. Namun, enam fraksi lain Gerindra, PKB, PKS, PPP, Demokrat, dan Golkar memilih jalan berbeda. Mereka sepakat menolak usulan pemakzulan, dan hanya memberikan rekomendasi perbaikan kinerja bagi Sudewo.

“Keputusan paripurna menyepakati rekomendasi perbaikan kinerja, bukan pemakzulan. Ini hasil pembahasan panjang bersama Pansus Hak Menyatakan Pendapat,” ujar Ketua DPRD Pati Ali Badrudin dengan nada hati-hati.
Kalimat itu disambut tepuk tangan sebagian anggota, namun juga sorakan kecil dari kubu oposisi.

Politik Keseimbangan dan Ketakutan Akan Kekosongan Kekuasaan

Di balik keputusan ini, terdapat pertimbangan politik yang matang bahkan sinis. Sejumlah anggota dewan mengakui secara terbuka bahwa langkah untuk tidak memakzulkan Sudewo bukan semata karena pembelaan terhadap kebijakannya, melainkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan menjelang tahun politik 2026.

“Kita tidak ingin kekosongan kepemimpinan yang justru menghambat pembangunan,” ujar salah satu anggota fraksi penolak yang enggan disebut namanya.

Dalam kacamata politik lokal, keputusan ini bisa dibaca sebagai politik keseimbangan upaya menjaga agar roda pemerintahan tetap berjalan, sambil tetap memegang kendali atas bupati. DPRD tidak menjatuhkan, tapi juga tidak sepenuhnya memberi cek kosong.
Sudewo selamat, tapi di bawah pengawasan ketat.

Lobi, Konsolidasi, dan Peran Enam Fraksi

Enam fraksi yang bersatu menolak pemakzulan bukan tanpa alasan.
Sumber internal menyebutkan adanya maraton pertemuan informal beberapa hari sebelum sidang paripurna. Pembahasan berlangsung hingga larut malam di salah satu hotel di kawasan Juwana. Agenda tunggalnya: mencari jalan tengah agar konflik tidak merembet menjadi krisis pemerintahan daerah.

“Yang kami jaga bukan Sudewo, tapi stabilitas Pati,” kata seorang anggota Fraksi Gerindra, menegaskan bahwa keputusan itu adalah kompromi politik, bukan pembelaan personal.

Gerindra dan Golkar disebut sebagai motor kompromi, dengan dukungan PKB yang ingin menjaga basis politiknya di akar rumput agar tidak terpecah antara pendukung dan penolak bupati.
PPP dan Demokrat, di sisi lain, lebih realistis: mereka menilai pemakzulan akan membuka peluang kekacauan birokrasi dan memperlambat proyek-proyek daerah yang sudah berjalan.

Namun, PDIP tetap memilih jalur konfrontatif. “Ini bukan soal stabilitas, ini soal tanggung jawab moral,” kata salah satu anggotanya dalam sidang terbuka.
Bagi PDIP, Sudewo adalah simbol kebijakan elitis yang abai terhadap suara rakyat kecil. Sikap keras itu menunjukkan bahwa oposisi di Pati belum mati meski terisolasi di tengah gelombang kompromi.

Sudewo: Dari Tersudut ke Terselamatkan

Sudewo, yang mengikuti jalannya sidang secara daring, tampak menahan napas ketika hasil akhir dibacakan.
Wajahnya yang sempat lesu berubah lega. Dalam pernyataan singkatnya, ia menyebut keputusan itu sebagai “peringatan sekaligus pelajaran”.

“Saya menghormati keputusan DPRD dan siap berbenah. Kritik adalah bagian dari demokrasi yang harus dijadikan bahan introspeksi,” katanya.

Namun di balik nada rendah hati itu, kemenangan politik Sudewo terbilang telak. Dalam satu langkah, ia berhasil membalik opini publik yang semula menentangnya, sekaligus memecah soliditas lawan-lawan politik di DPRD.

Kronologi Panjang: Dari Kenaikan Pajak ke Krisis Politik

1. Kenaikan Pajak Picu Amarah Warga

Kisruh bermula pada Agustus 2025, ketika Bupati Sudewo menerbitkan kebijakan menaikkan PBB-P2 hingga 250%.
Kebijakan itu langsung memantik gelombang kemarahan warga, terutama pelaku UMKM dan petani yang merasa terbebani.
Aksi protes besar terjadi pada 11–13 Agustus 2025, dengan ribuan warga memenuhi alun-alun Pati. Seruan mereka bergema: “Batalkan pajak atau mundur, Pak Bupati!”

2. DPRD Pati Bentuk Hak Angket

Tekanan publik membuat DPRD bergerak cepat. Pada 13 Agustus, usulan hak angket disetujui, dan akhir bulan terbentuk Pansus Hak Angket untuk menyelidiki tiga hal utama:

  1. Kenaikan PBB-P2,
  2. Dugaan mutasi ASN tidak prosedural,
  3. Potensi nepotisme dan penyalahgunaan wewenang.

3. Pemeriksaan Saksi dan Ketegangan Awal

Pada September, Pansus mulai memanggil sejumlah pejabat penting, termasuk mantan Kepala BPKAD dan pengurus RSUD Soewondo.
Ketegangan meningkat ketika dua jurnalis dianiaya saat meliput rapat Pansus pada 5 September. Peristiwa itu memicu kecaman luas dari organisasi pers.
Sementara itu, nama Sudewo ikut disebut dalam pemeriksaan KPK di Jakarta terkait kasus suap DJKA—meski tidak terkait langsung dengan angket.

4. Sidang Ricuh dan Eskalasi Massa

Situasi semakin panas pada 2 Oktober. Sidang pansus di DPRD Pati berujung ricuh setelah bentrokan pecah antara pendukung Sudewo dan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB).
Puluhan warga luka-luka, beberapa jurnalis kehilangan ponselnya karena dirampas massa.
Polisi menurunkan 500 personel TNI-Polri untuk mengamankan situasi, sementara massa menolak bubar dan bertahan di sekitar pendopo kabupaten.

5. Paripurna Penentuan Nasib

Menjelang sidang akhir, Gubernur Jateng Ahmad Luthfi turun tangan menyerukan ketenangan publik. Ia menegaskan keputusan akhir ada di tangan DPRD Pati.
Dan pada 31 Oktober 2025, keputusan itu jatuh: Sudewo tidak dimakzulkan.
Enam fraksi bersatu mempertahankan status quo, sementara pemerintah pusat melalui Kemendagri ikut memantau agar konflik tidak berkembang menjadi krisis politik baru.

Arah Politik Baru: Sudewo Masih di Kursi, tapi Tidak Lagi Aman

Keputusan DPRD Pati bukan akhir dari drama, melainkan awal dari babak politik baru.
Sudewo memang selamat, tapi posisinya kini rapuh.
Ia harus menjalankan reformasi birokrasi, menata ulang kebijakan fiskal, dan memulihkan kepercayaan publik. Enam fraksi pendukung bisa dengan mudah berbalik arah jika ia gagal menunjukkan perbaikan nyata.

Politik lokal Pati kini bergerak dalam keseimbangan tipis antara stabilitas dan ketidakpuasan.
Bagi DPRD, langkah ini adalah pesan keras: kekuasaan bisa diselamatkan, tapi hanya selama kepercayaan masih dijaga.
Dan bagi Bupati Sudewo, kemenangan hari ini hanyalah penundaan badai, bukan akhir dari cobaan politik yang mengintainya.

(B1)

#PemakzulanBupatiPati #Sudewo #BupatiPati