Breaking News

Misteri di Balik Penculikan Bilqis: Saat Suku di Pedalaman Jambi Menganggap Anak Curiannya Sebagai “Anak Sendiri”

Polisi menunjukkan tersangka kasus penculikan Bilqis di Polrestabes Makassar, Senin (10/11/2025).

D'On, Makassar
- Kasus penculikan bocah empat tahun asal Makassar bernama Bilqis berakhir dengan adegan dramatis di pedalaman Jambi. Setelah hampir sepekan dinyatakan hilang, gadis kecil itu akhirnya ditemukan selamat di tengah hutan belantara  tepatnya di wilayah Suku Anak Dalam (SAD), komunitas adat terpencil yang hidup jauh dari hiruk pikuk peradaban. Namun di balik penyelamatan ini, tersingkap kisah mengejutkan tentang praktik adopsi anak di kalangan suku tersebut.

Misi Penyelamatan yang Menegangkan

Sabtu (8/11), tim gabungan dari Polrestabes Makassar dan Polda Jambi menembus kawasan hutan yang lebat dan nyaris tanpa sinyal. Mereka bergerak hati-hati, menempuh perjalanan panjang menuju wilayah tempat Bilqis diduga berada.

“Situasinya sangat tegang. Kami sempat berhadapan langsung dengan warga Suku Anak Dalam yang menolak melepas Bilqis,” ungkap Ipda Adi Gaffar, Kasubnit Jatanras Polrestabes Makassar, Selasa (11/11).

Menurut Adi, negosiasi berjalan sangat alot. Warga SAD bersikeras bahwa Bilqis sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.

“Mereka bilang anak itu sudah dianggap seperti anak sendiri,” tuturnya.

Namun, setelah melalui proses komunikasi panjang dengan Tumenggung kepala suku yang dihormati dan penjelasan bahwa Bilqis adalah korban penculikan, akhirnya anak itu diserahkan kembali kepada pihak kepolisian.

Jejak Gelap di Balik Tradisi Adopsi

Dari hasil penyelidikan di lapangan, polisi menemukan bahwa praktik adopsi anak di kalangan Suku Anak Dalam ternyata bukan hal baru. Dalam komunitas yang hidup di antara hutan-hutan Jambi itu, mengasuh anak dari luar suku dianggap sebagai cara untuk “menyambung keturunan”.

“Mereka percaya bahwa dengan mengadopsi anak dari luar, bisa memperbaiki garis keturunan dan memperkuat kehidupan suku,” ujar Adi.

Informasi ini diperkuat oleh keterangan tersangka yang terlibat dalam penculikan Bilqis. Polisi mengungkap bahwa mereka memiliki seorang perantara bernama Lina, yang bertugas “menyalurkan” anak-anak hasil penculikan kepada warga suku di pedalaman.

“Dari pengakuan tersangka, mereka sudah beberapa kali membawa anak-anak untuk diadopsi oleh warga Suku Anak Dalam,” kata Adi.

Sindikat Jual Beli Anak Lintas Provinsi

Kasus Bilqis bukan sekadar penculikan biasa. Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro mengungkapkan bahwa dua dari empat pelaku utama, Adit Prayitno Saputra (36) dan Meriana (42), adalah warga Kabupaten Merangin, Jambi.

Pasangan ini dikenal di lingkungannya sebagai suami istri yang sudah menikah sembilan tahun namun belum memiliki anak. Di balik wajah polos dan kisah sedih itu, tersimpan fakta kelam: keduanya ternyata sudah menjual sembilan bayi dan satu anak melalui media sosial.

“Mereka menggunakan akun TikTok dan WhatsApp untuk mencari pembeli maupun calon pengadopsi. Semua dilakukan dengan kedok kemanusiaan,” jelas Djuhandhani.

Adit dan Meriana bukan pemain tunggal. Polisi menduga mereka bagian dari jaringan perdagangan anak lintas provinsi yang memanfaatkan tradisi dan kepercayaan masyarakat adat untuk melancarkan aksinya.

Suku Anak Dalam dan Keyakinan “Memperbaiki Keturunan”

Suku Anak Dalam, atau sering disebut “Orang Rimba”, dikenal sebagai salah satu komunitas adat tertutup di Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka hidup berpindah-pindah di hutan, dengan sistem sosial yang berpegang kuat pada adat dan kepercayaan turun-temurun.

Dalam pandangan mereka, anak adalah simbol keberlangsungan hidup dan kekuatan suku. Tak heran bila sebagian warga yang tak memiliki keturunan bersedia mengadopsi anak dari luar suku bahkan tanpa menelusuri asal-usulnya.

“Keterangannya, mereka hanya ingin memperbaiki keturunan. Itu alasan yang disampaikan kepada saya,” ujar Adi Gaffar.

Namun di era modern seperti sekarang, praktik semacam itu bisa berujung fatal bila tidak dibarengi pemahaman hukum dan perlindungan anak yang memadai.

Antara Tradisi dan Kejahatan

Kasus Bilqis membuka mata publik bahwa praktik adat bisa saja bersinggungan dengan tindak kriminal. Apa yang bagi satu kelompok dianggap bentuk kasih sayang atau ritual sosial, bagi hukum negara jelas merupakan penculikan dan perdagangan anak.

Kini, polisi masih terus menelusuri sejauh mana keterlibatan warga SAD dalam kasus ini apakah mereka benar-benar tidak tahu bahwa anak yang mereka rawat hasil penculikan, atau justru ada pihak yang memanfaatkan tradisi mereka untuk memperlancar bisnis gelap tersebut.

Sementara itu, Bilqis sudah kembali ke pangkuan keluarganya di Makassar. Tangis bahagia sang ibu menyambut kepulangan buah hatinya menjadi penutup kisah yang nyaris berakhir tragis. Namun, bagi aparat penegak hukum, kasus ini baru awal dari penyelidikan panjang yang akan menguak jaringan gelap di balik praktik “adopsi” anak di pedalaman.

(K)

#PenculikanAnak #Kriminal