Kode Gelap di Balik Korupsi Gubernur Riau Abdul Wahid: “Jatah Preman” dan “7 Batang”

Gubernur Riau Abdul Wahid (kanan)
D'On, Jakarta - Satu demi satu, tabir korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau mulai tersibak. Di balik proyek pembangunan jalan dan jembatan yang seharusnya membuka akses kemajuan, ternyata tersembunyi bahasa gelap: “jatah preman” dan “7 batang”. Dua istilah ini bukan sekadar kata sandi, melainkan kunci rahasia yang mengantarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada permainan uang miliaran rupiah yang menyeret nama Gubernur Riau, Abdul Wahid.
“Jatah Preman”: Ancaman dan Uang Setoran
Kisah ini berawal dari sebuah pertemuan pada Mei 2025 di sebuah kafe di Kota Pekanbaru. Di meja itu duduk orang-orang penting dari Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau. Pertemuan dipimpin oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP, Ferry Yunanda (FRY), dan dihadiri oleh enam Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wilayah I hingga VI.
Agenda utama: pembahasan “jatah” untuk sang Gubernur.
Menurut Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, fee awal yang disepakati untuk Abdul Wahid hanya 2,5% dari total proyek. Namun setelah diskusi internal, angka itu naik dua kali lipat menjadi 5%, setara dengan Rp 7 miliar.
Namun, bukan hanya besaran yang berubah. Di kalangan Dinas, muncul istilah baru: “jatah preman” sebuah kode internal untuk menyebut fee yang harus disetor ke atasan.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ungkap Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung KPK, Rabu (5/11/2025).
Menurut penyidik, tekanan ini datang dari Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan (MAS), orang kepercayaan Abdul Wahid. Ia menjadi perantara utama dalam mengatur setoran “jatah preman” dari bawahannya. Bahasa sandi ini menjadi simbol ketakutan di lingkungan Dinas sebuah sistem feodal modern di mana jabatan bisa dipertahankan hanya dengan loyalitas dalam bentuk uang.
“7 Batang”: Kode Transaksi Uang Miliaran
Beberapa minggu setelah pertemuan di kafe itu, para kepala UPT kembali berkumpul. Kali ini, suasananya lebih tertutup dan tegang. Mereka sudah tahu: permintaan sang Gubernur tak bisa ditolak.
Di pertemuan kedua inilah muncul istilah baru yang lebih halus, tapi sama berbahayanya: “7 batang.”
Kata ini digunakan sebagai sandi untuk menyebut total fee Rp 7 miliar yang akan diserahkan kepada Abdul Wahid.
“Seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Saudara AW sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar. Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas dengan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” ujar Johanis Tanak menjelaskan.
KPK menduga uang itu berasal dari hasil manipulasi penganggaran proyek jalan dan jembatan. Dari semula Rp 71,6 miliar, anggaran tahun 2025 melonjak menjadi Rp 177,4 miliar kenaikan fantastis sebesar Rp 106 miliar yang diduga menjadi sumber “jatah” gelap tersebut.
Jerat Hukum Menutup Langkah Sang Gubernur
Setelah mengumpulkan bukti dan keterangan saksi, KPK akhirnya bergerak cepat. Dari penyelidikan yang dimulai lewat operasi tangkap tangan (OTT), penyidik berhasil mengamankan uang tunai Rp 1,6 miliar, termasuk pecahan dolar Amerika dan poundsterling.
Uang tersebut diduga bagian dari fee yang sudah terealisasi sebagian kecil dari “jatah” besar yang dijanjikan.
Dalam gelar perkara, KPK menetapkan tiga orang tersangka:
- Abdul Wahid (AW) — Gubernur Riau, penerima fee proyek.
- M. Arief Setiawan (MAS) — Kepala Dinas PUPR PKPP, perantara sekaligus pengatur setoran.
- Dani M. Nursalam (DAN) — Tenaga Ahli Gubernur Riau, penghubung antara pihak luar dan internal dinas.
“Setelah dilakukan pemeriksaan intensif dan ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka,” tegas Johanis Tanak.
Bayang-Bayang Korupsi yang Mengakar
Kasus Abdul Wahid menambah daftar panjang kepala daerah di Riau yang terjerat korupsi. Sebelumnya, KPK juga menangani perkara serupa yang melibatkan pejabat tinggi daerah seolah menjadi pola berulang di bumi Lancang Kuning.
Dalam kasus ini, yang membuat miris bukan hanya jumlah uangnya, tapi cara permainan itu dibungkus dengan kode dan ancaman. “Jatah preman” dan “7 batang” bukan sekadar istilah, melainkan bukti bagaimana korupsi menjadi budaya terselubung di birokrasi berjalan seperti sistem upeti zaman feodal, namun dalam bentuk modern.
Kini, publik menanti apakah penegakan hukum kali ini benar-benar mampu memutus rantai setoran gelap yang menjerat proyek pembangunan di daerah.
Sebab di balik jalan-jalan mulus yang dibangun dengan uang rakyat, seringkali terselip jejak-jejak licin korupsi yang justru membuat langkah pembangunan tersendat.
(L6)
#AbdulWahid #OTTKPK #KPK #GubernurRiauKenaOTT