Gaya Preman di Balik Meja Gubernur: KPK Bongkar Skandal Pemerasan dan Pergeseran Anggaran di Dinas PUPR-PKPP Riau
D'On, Pekanbaru — Langit Riau tampak muram, seolah turut menutupi aroma busuk korupsi yang tercium dari balik tembok megah Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR-PKPP). Hari Selasa (11/11/2025) itu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang bukan untuk bersilaturahmi. Mereka datang membawa surat tugas, menggeledah ruang demi ruang, dan menyita tumpukan dokumen serta barang bukti elektronik yang diduga terkait pergeseran anggaran mencurigakan.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi bahwa tim penyidik menemukan sejumlah dokumen penting yang menunjukkan adanya indikasi manipulasi anggaran di lingkungan Dinas PUPR-PKPP Riau.
“Penyidik menyita dokumen terkait pergeseran anggaran di Dinas PUPR-PKPP serta sejumlah barang bukti elektronik,” ujar Budi kepada wartawan di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (12/11/2025).
Namun, penggeledahan ini bukanlah langkah awal. Ia merupakan bagian dari rangkaian panjang operasi pemberantasan korupsi yang telah menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid ke pusaran hukum bersama dua pejabat kepercayaannya: Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M. Nursalam.
Awal dari Segalanya: Operasi Senyap KPK
Semua bermula pada awal November 2025. Tepatnya 3 November, KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Abdul Wahid bersama delapan orang lain di beberapa lokasi di Pekanbaru. Sehari kemudian, Dani M. Nursalam, Tenaga Ahli Gubernur yang sempat buron, akhirnya menyerahkan diri ke Gedung Merah Putih KPK.
Dan pada 5 November 2025, publik dibuat terhenyak. KPK secara resmi menetapkan Abdul Wahid, Arief Setiawan, dan Dani M. Nursalam sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
Namun ternyata, di balik kalimat “pemerasan”, tersembunyi kisah yang jauh lebih kelam kisah tentang seorang gubernur yang bertingkah bak preman, menindas bawahannya, dan menuntut upeti di tengah kondisi keuangan daerah yang tengah defisit miliaran rupiah.
“Jatah Preman” dari Para Kepala UPT
Dari hasil penyidikan, KPK menemukan pola yang disebut oleh para pegawai sebagai “jatah preman”. Skemanya sederhana tapi kejam. Para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas PUPR-PKPP diwajibkan memberikan fee sebesar 5 persen dari nilai proyek kepada sang gubernur.
Besaran itu bukan muncul begitu saja. Menurut Asep Guntur Rahayu, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, awalnya hanya diminta 2,5 persen, namun kemudian dinaikkan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar atas perintah langsung Abdul Wahid melalui Kepala Dinas PUPR-PKPP, M. Arief Setiawan.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan atau mutasi jabatan. Permintaan ini di lingkungan Dinas PUPR-PKPP dikenal dengan istilah jatah preman,” ungkap Asep Guntur dalam konferensi pers di Gedung KPK, Rabu (5/11/2025).
Tiga kali setoran dilakukan dari Juni hingga November 2025, dengan total mencapai Rp 4,05 miliar dari target Rp 7 miliar yang telah disepakati.
Anak Buah Dipaksa Cari Uang Sendiri
Yang membuat kasus ini makin memilukan adalah sumber uang setoran itu. Tidak berasal dari proyek atau kontraktor pihak ketiga, melainkan dari kantong para pejabat sendiri hasil pinjaman, gadai sertifikat, hingga menjual aset pribadi.
“Informasi yang kami terima dari para kepala UPT, uang itu mereka pinjam sendiri. Ada yang pakai uang pribadi, ada yang pinjam ke bank, bahkan ada yang menggadaikan sertifikat,” ungkap Asep Guntur.
Ironisnya, pemerasan itu terjadi di tengah kondisi keuangan daerah yang sedang sekarat. Pada Maret 2025, Abdul Wahid sendiri pernah mengumumkan bahwa APBD Riau mengalami defisit hingga Rp 3,5 triliun.
Namun, di saat rakyat dan pegawai berjuang dengan keterbatasan, sang gubernur justru menuntut “jatah” demi membiayai gaya hidupnya termasuk jalan-jalan ke luar negeri.
“Seharusnya dengan kondisi APBD defisit, pemimpin itu peka, bukan malah membebani bawahannya,” sindir Asep.
Pertemuan Gelap di Kafe Pekanbaru
Laporan masyarakat yang masuk ke KPK mengungkap titik awal persekongkolan itu. Pada Mei 2025, berlangsung pertemuan di sebuah kafe di Pekanbaru antara FRY, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP, dengan enam Kepala UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI.
Agenda pertemuan itu: menyepakati fee untuk gubernur.
Dari pertemuan itulah muncul angka 2,5 persen, yang kemudian dinaikkan menjadi 5 persen setelah dibawa ke M. Arief Setiawan. Besaran ini disepakati dengan kode rahasia “7 batang”, sebagai simbol jatah Rp 7 miliar.
Tak lama setelah kesepakatan itu, setoran pertama pun mengalir ke tangan Abdul Wahid.
Lebih jauh, kenaikan anggaran yang dijadikan dasar penarikan fee juga terungkap: dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar, alias naik Rp 106 miliar — sebuah lonjakan yang disinyalir menjadi ladang korupsi baru di Dinas PUPR-PKPP.
Kisah yang Belum Selesai
Kini, ruang kerja Abdul Wahid di kantor gubernur tampak kosong, kursi empuknya ditinggalkan, dan senyum yang dulu menghiasi baliho kampanye berganti dengan wajah tegang di balik jeruji tahanan KPK.
Namun penyidik belum berhenti. Penggeledahan masih dilakukan di berbagai titik, termasuk rumah dinas pejabat terkait dan sejumlah kantor di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Dokumen dan bukti elektronik yang disita diyakini menjadi kunci untuk mengungkap modus pergeseran anggaran yang dijadikan alat untuk memperkaya segelintir pejabat.
Kasus ini menjadi pengingat getir bahwa di balik slogan “Riau Bermartabat” yang sering dikumandangkan, masih tersimpan budaya feodal yang menindas birokrasi sendiri.
Dan bagi rakyat, yang dulu percaya pada sosok pemimpin muda bernama Abdul Wahid, kini yang tersisa hanyalah pertanyaan:
berapa banyak lagi uang rakyat yang harus digadaikan demi ambisi pribadi?
(L6)
#KPK #Korupsi #AbdulWahid
