Terapkan Hukum Adat, Pasangan Selingkuh di Bengkulu Dicambuk 100 Kali dan Didenda Rp30 Juta: Desa Gelar Ritual “Cuci Kampung”
Ilustrasi Hukum Cambuk
D'On, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu — Sebuah peristiwa langka dan mengguncang emosi warga kembali terjadi di Desa Selamat Sudiarjo, Kecamatan Bermani Ulu, Kabupaten Rejang Lebong. Sepasang pria dan wanita yang diketahui menjalin hubungan terlarang meski keduanya sudah memiliki pasangan sah dihukum cambuk hingga 100 kali dan didenda Rp30 juta berdasarkan hukum adat masyarakat setempat.
Awal Terungkapnya Perselingkuhan
Kasus ini bermula dari kecurigaan keluarga SU, sang wanita, yang melihat gelagat aneh dari dirinya beberapa bulan terakhir. Ia sering keluar rumah tanpa alasan jelas dan kerap terlihat bersama seorang pria yang bukan suaminya. Setelah diamati lebih jauh, pria tersebut diketahui berinisial ED, seorang lelaki yang juga telah beristri dan dikenal cukup aktif dalam kegiatan sosial di desa tetangga.
Kecurigaan itu berubah menjadi bukti nyata saat salah satu kerabat SU memergoki keduanya berduaan di tempat sepi. Temuan ini segera menyebar cepat dari mulut ke mulut, mengguncang ketenangan warga Desa Selamat Sudiarjo. Dalam waktu singkat, kisah cinta terlarang itu menjadi perbincangan hangat di warung kopi hingga forum adat desa.
Akibat peristiwa tersebut, suami SU memilih untuk menceraikan istrinya, merasa dikhianati dan dipermalukan di hadapan masyarakat. Sementara itu, ED masih berupaya mempertahankan rumah tangganya, meski tekanan sosial dan rasa malu membuat situasi keluarganya di ujung tanduk.
Sidang Adat dan Putusan Masyarakat
Menindaklanjuti keresahan warga, Dewan Adat Rejang segera menggelar musyawarah adat atau yang disebut “beghimbung adat.” Dalam forum yang dihadiri tokoh adat, perangkat desa, tokoh agama, dan masyarakat setempat itu, kedua pelaku dipanggil untuk mengakui perbuatannya di depan khalayak.
Setelah melalui pemeriksaan dan pengakuan terbuka, sidang adat menetapkan hukuman cambuk sebanyak 100 kali disertai denda adat sebesar Rp30 juta. Hukuman ini dijatuhkan sebagai bentuk penegakan hukum adat Rejang yang menekankan keseimbangan sosial dan moral di masyarakat.
Prosesi “Cuci Kampung”: Membersihkan Dosa Sosial
Pelaksanaan hukuman adat dilakukan dalam sebuah upacara adat yang disebut “Cuci Kampung.” Tradisi ini sudah turun-temurun diwariskan masyarakat Rejang sebagai cara “membersihkan” desa dari pengaruh perbuatan tercela.
Dalam prosesi itu, warga berkumpul di balai desa. Kedua pelaku duduk bersimpuh di tengah lingkaran warga dan tetua adat. Suara tabuhan gendang rejang mengiringi pembacaan mantra adat yang menandai dimulainya prosesi. Setelah itu, cambuk adat yang terbuat dari rotan diayunkan secara bergantian oleh perwakilan tokoh adat.
Setiap cambukan disertai ucapan pengingat agar kedua pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan menjadi pelajaran bagi masyarakat lain. Seusai prosesi cambuk, pelaku diminta melakukan ritual penyucian diri dengan air bunga tujuh rupa di tepi sungai desa, simbol pembersihan diri dari noda sosial dan moral.
Makna Sosial dan Pesan Moral
Bagi masyarakat Rejang, penerapan hukum adat bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga bentuk pemulihan harmoni sosial dan moral. “Tujuan hukum adat bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk mengembalikan keseimbangan dan menghentikan aib agar tidak menular,” ujar salah satu tokoh adat yang hadir dalam prosesi tersebut.
Hukuman cambuk dan denda uang diyakini menjadi “tebusan” agar desa kembali bersih dari pengaruh buruk perbuatan zina dan perselingkuhan. Uang denda itu nantinya akan digunakan untuk ritual adat dan kegiatan sosial yang dianggap dapat memulihkan kehormatan kampung.
Reaksi Warga dan Pandangan Hukum Nasional
Peristiwa ini menimbulkan beragam reaksi. Sebagian warga mendukung penerapan hukum adat tersebut, menilai bahwa sanksi adat jauh lebih efektif dalam menekan perilaku amoral dibanding sekadar teguran sosial biasa. Namun, ada juga yang menilai bahwa bentuk hukuman fisik seperti cambuk perlu dikaji ulang agar tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
Meski begitu, bagi masyarakat Rejang Lebong, adat tetap memiliki posisi penting sebagai benteng moral. Dalam konteks sosial pedesaan yang masih menjunjung tinggi kehormatan keluarga, pelanggaran nilai seperti perselingkuhan dianggap aib besar yang harus disucikan secara adat.
Penegasan Nilai Adat di Era Modern
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di sejumlah daerah di Indonesia, hukum adat masih hidup dan dihormati. Ia berfungsi bukan hanya sebagai warisan budaya, tapi juga penjaga etika dan identitas sosial masyarakat lokal di tengah arus modernisasi yang kian deras.
Malam setelah prosesi itu, suasana desa kembali tenang. Warga percaya, lewat cambuk, air bunga, dan ritual adat, kampung mereka telah kembali “bersih” dari noda sosial.
(IR)
#HukumAdat #HukumCambuk #Bengkulu