Breaking News

Tanda-Tanda Orangtua Tanpa Sadar Membully Anak: Ketika Kasih Sayang Berubah Jadi Luka

Ini Tanda-Tanda Orangtua Membully Anak yang Jarang Disadari (Foto: Freepik

Dirgantaraonline
- Tidak semua luka anak terlihat di kulit. Sebagian justru bersembunyi di balik senyum, di dada kecil yang menanggung tekanan dari orangtua yang tak menyadari bahwa cinta mereka bisa menyakitkan.

Banyak orangtua percaya bahwa bersikap tegas, memberi nasihat keras, atau membandingkan anak dengan yang lain adalah bentuk kasih sayang. Padahal, tanpa sadar, perilaku itu bisa menjadi bentuk perundungan (bullying) emosional yang meninggalkan jejak panjang dalam tumbuh kembang anak.

Psikolog anak menyebut, bullying dari orangtua sering kali tersembunyi di balik kalimat “demi kebaikanmu” atau “supaya kamu jadi anak sukses.” Padahal, kalimat-kalimat seperti itu bisa mengikis rasa percaya diri anak dan membuatnya tumbuh dengan luka batin yang dalam.

Berikut beberapa tanda-tanda orangtua yang tanpa sadar membully anaknya:

1. Terlalu Menuntut dan Menetapkan Standar Tak Realistis

Banyak orangtua ingin anaknya menjadi yang terbaik—tercerdas di kelas, paling berprestasi, atau selalu sempurna di mata orang lain. Namun ketika tuntutan itu berlebihan dan tidak realistis, anak justru hidup dalam ketakutan gagal.

Mereka belajar bahwa cinta orangtua hanya datang jika mereka berhasil. Akibatnya, anak bisa tumbuh dengan kecemasan kronis, perfeksionisme ekstrem, bahkan kehilangan motivasi karena merasa dirinya tidak pernah cukup baik.

2. Kritik yang Menyakitkan, Bukan Membangun

Mengoreksi kesalahan anak adalah hal wajar, tapi cara menyampaikannya bisa membuat perbedaan besar. Kritik yang menjatuhkan, apalagi dilakukan di depan orang lain, membuat anak merasa malu, tak dihargai, dan tidak berharga.

Kalimat seperti “Kamu memang selalu ceroboh!” atau “Lihat tuh temanmu, lebih rajin dari kamu!” bisa terdengar sepele, tapi bagi anak, kalimat itu bisa membekas seumur hidup. Anak akan merasa dirinya gagal memenuhi harapan orangtua bahkan ketika ia sudah berusaha keras.

3. Sering Membandingkan Anak dengan Orang Lain

“Lihat kakakmu, nilainya bagus. Kenapa kamu nggak bisa begitu?”

Kalimat sederhana itu sering kali jadi pemantik luka batin terdalam seorang anak. Perbandingan membuat anak kehilangan rasa percaya diri dan identitas dirinya sendiri. Ia belajar bahwa untuk dicintai, ia harus menjadi orang lain.

Selain itu, perbandingan terus-menerus juga bisa menimbulkan rasa iri, rendah diri, bahkan kebencian terhadap saudara kandung atau teman sebaya.

4. Mengabaikan Perasaan dan Kebutuhan Anak

Tak jarang, orangtua meremehkan emosi anak dengan kalimat seperti “Ah, cuma begitu aja nangis” atau “Kamu tuh lebay banget.” Padahal, bagi anak, perasaan itu nyata dan valid.

Saat anak tidak didengarkan, ia akan belajar bahwa perasaannya tidak penting, dan perlahan berhenti berbicara tentang apa yang ia rasakan. Inilah awal dari terbentuknya anak yang tertutup secara emosional, yang kelak sulit mempercayai orang lain.

5. Memberikan Ancaman dan Paksaan

Beberapa orangtua masih menggunakan ancaman atau manipulasi untuk membuat anak patuh. Misalnya dengan kalimat seperti “Kalau kamu nggak nurut, Mama nggak sayang lagi.”

Ini adalah bentuk kekerasan verbal dan emosional. Anak akan belajar bahwa cinta bisa ditarik kapan saja, dan satu kesalahan kecil bisa membuatnya kehilangan kasih sayang. Dalam jangka panjang, hal ini bisa membuat anak tumbuh dengan rasa takut, mudah disalahkan, dan sulit mengambil keputusan.

6. Membuat Anak Merasa Bersalah atas Hal yang Bukan Salahnya

Kadang, tanpa sadar, orangtua menimpakan perasaan bersalah kepada anak seolah-olah anaklah penyebab kekacauan keluarga. Misalnya, “Mama capek karena kamu nggak nurut!” atau “Kalau kamu pintar, Papa nggak akan marah-marah begini.”

Kalimat seperti ini bisa membuat anak tumbuh dengan beban emosional yang berat, merasa dirinya sumber masalah, dan terus menyalahkan diri sendiri setiap kali sesuatu berjalan salah.

Dampak Jangka Panjang

Anak yang mengalami perundungan emosional dari orangtuanya cenderung tumbuh dengan rasa rendah diri, cemas, takut gagal, atau justru menjadi pemberontak. Dalam banyak kasus, luka itu terbawa hingga dewasa dan memengaruhi cara mereka menjalin hubungan, baik di sekolah, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi.

Menjadi Orangtua yang Sadar Emosi

Perlu diingat: tidak ada orangtua yang sempurna. Namun menjadi orangtua yang sadar akan kata dan tindakannya adalah langkah besar untuk memutus rantai kekerasan emosional.

Coba ganti kalimat perbandingan dengan dukungan, kritik dengan apresiasi, dan ancaman dengan pelukan. Karena sering kali, anak tidak butuh orangtua yang sempurna ia hanya butuh orangtua yang mau mendengarkan dan memahami.

(***)

#Parenting #Gayahidup #Lifestyle