Breaking News

Tanah Pemda Dijual Seperti Milik Nenek Sendiri, Mantan Wali Kota Kupang Resmi Jadi Tersangka Korupsi

Mantan Wali Kota Kupang, NTT Jonas Salean saat diperiksa jaksa terkait pengalihan aset tanah

D'On, Kupang
— Kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Kupang, JS, akhirnya mencapai babak baru. Pria yang pernah menduduki kursi nomor satu di Kota Kasih itu resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) pada Jumat, 3 Oktober 2025.

Penetapan ini bukan datang tiba-tiba. Setelah melalui penyelidikan panjang, penyidik menemukan jejak kuat dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pengalihan aset tanah milik Pemerintah Kabupaten Kupang kepada pihak-pihak yang sama sekali tidak berhak. Namun, saat dipanggil untuk diperiksa, JS justru absen dengan alasan kesehatan.

Aset Negara Diperlakukan Seperti Warisan Pribadi

Kasi Penkum Kejati NTT, Raka Putra Dharmana, menjelaskan bahwa JS diduga secara sadar dan terencana memindahtangankan sejumlah bidang tanah milik pemerintah daerah kepada individu tertentu. Ironisnya, aset negara itu dialihkan seolah-olah merupakan harta pribadi yang bebas dijual atau dibagikan.

Beberapa sertifikat tanah yang terendus dalam kasus ini antara lain:

  • Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 839, luas 420 m², atas nama JS, terbit 2 Juli 2013.
  • SHM No. 879, luas 400 m², atas nama Petrus Krisin, terbit 7 Maret 2014.
  • SHM No. 880, luas 400 m², atas nama Yonis Oesina, terbit 13 Maret 2014.

Semua sertifikat tersebut, kata Raka, bermula dari proses yang mencurigakan—yakni penerbitan surat rekomendasi penunjukan tanah kapling pada rentang tahun 2004 hingga 2013. Dokumen itu ditandatangani sejumlah pejabat berwenang saat itu, termasuk JS sendiri ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Kupang, serta S.K. Lerik, pejabat sebelumnya.

“Dari hasil penyidikan, kuat dugaan bahwa proses pengalihan aset ini dilakukan dengan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanah yang seharusnya menjadi milik pemerintah daerah justru berubah status menjadi milik pribadi dan pihak lain,” ujar Raka tegas.

Kerugian Negara Hampir Rp 6 Miliar

Tindakan JS bukan hanya melanggar etika dan hukum, tetapi juga merugikan keuangan daerah dalam jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan hasil audit Inspektorat Provinsi NTT Nomor X.IP.775/13/2023 tanggal 26 September 2023, kerugian keuangan daerah akibat pengalihan aset tersebut mencapai Rp 5.956.786.664,40 — hampir Rp 6 miliar.

Jumlah itu mencerminkan besarnya nilai tanah pemerintah yang “lenyap” ke tangan pihak swasta tanpa hak. Menurut penyidik, modus seperti ini sering terjadi di daerah—di mana aset pemerintah diperlakukan seolah-olah warisan keluarga pejabat.

Atas perbuatannya, JS dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya berat — bisa mencapai 20 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.

Tidak Hadir Saat Dipanggil

Meski status tersangka sudah ditetapkan, JS belum kunjung memenuhi panggilan penyidik. Ia mengajukan alasan kesehatan untuk absen dari pemeriksaan. Namun, penyidik menegaskan, pemanggilan ulang akan segera dilakukan.

“Yang bersangkutan dijadwalkan kembali dipanggil dan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka, untuk memperkuat alat bukti yang sudah kami miliki,” kata Raka.

Sumber internal Kejati NTT menyebutkan, penyidik telah mengantongi berbagai dokumen dan kesaksian penting yang memperkuat dugaan bahwa pengalihan aset dilakukan secara sistematis dengan melibatkan beberapa pihak.

Kejati NTT Siap Bongkar Jaringan

Kepala Kejati NTT, Zet Tadung Allo, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan pandang bulu dalam menindak setiap bentuk penyalahgunaan kewenangan. Ia berkomitmen membersihkan praktik-praktik korupsi yang selama ini merugikan daerah.

“Tidak ada kompromi terhadap pelaku korupsi. Kami akan tuntaskan setiap kasus yang menggerogoti keuangan negara, sekecil apa pun nilainya,” tegasnya.

Langkah Kejati NTT ini juga merupakan bagian dari upaya memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas, sesuai dengan semangat reformasi birokrasi yang tengah digalakkan di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur.

Kasus ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi para pejabat aktif maupun mantan pejabat: tanah negara bukan milik pribadi. Mengalihkannya tanpa dasar hukum yang sah sama saja dengan mencuri dari rakyat sendiri.

(L6)

#Korupsi #Hukum