Breaking News

Staf Ahli Kemensos Tolak Jadi Tersangka KPK: "Saya Hanya Jalankan Perintah"

Kuasa Hukum Staf Ahli Kemensos Edi Suharto, Faizal Hafied saat konferensi pers bersama Edi dan tim kuasa hukumnya di Jakarta Pusat, Kamis (2/10/2025).

D'On, Jakarta
— Pusaran kasus korupsi bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos) kembali menyeret nama besar. Kali ini giliran Edi Suharto, Staf Ahli Menteri Sosial yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial pada 2020. Ia resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, Edi menolak jika dirinya disebut sebagai pelaku utama. Melalui tim kuasa hukumnya, Faizal Hafied, Edi menegaskan bahwa semua yang ia lakukan saat pandemi COVID-19 hanyalah sebatas melaksanakan perintah langsung dari Menteri Sosial saat itu, Juliari P. Batubara  yang sebelumnya sudah lebih dulu divonis bersalah dalam kasus serupa.

“Atas dasar melaksanakan perintah jabatan tersebut, pada saat ini Bapak Edi Suharto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” ujar Faizal Hafied dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Kamis (2/10/2025).

Menjalankan Perintah Menteri

Faizal menjelaskan bahwa Edi Suharto pada tahun 2020 memegang posisi strategis sebagai Dirjen Pemberdayaan Sosial. Dalam kapasitas itu, ia mendapatkan surat tugas resmi dari Juliari P. Batubara untuk mengawal dan melaksanakan Program Bantuan Sosial Beras (BSB). Program ini dirancang sebagai jaring pengaman sosial untuk jutaan masyarakat yang terdampak krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Menurut Faizal, semua kebijakan besar, termasuk siapa yang menjadi rekanan pengangkut dan penyalur bansos, ditentukan langsung oleh menteri. Edi hanya bertindak sebagai pelaksana teknis di lapangan, memastikan distribusi berjalan sesuai instruksi.

“Demi keadilan dan kebenaran, sesuai norma fundamental hukum dan Pasal 51 ayat 1 KUHP, seharusnya Bapak Edi Suharto tidak dapat dipersalahkan. Beliau tidak bisa dipidana karena sekadar melaksanakan perintah jabatan yang diberikan kepadanya,” tegas Faizal.

Dari Pencekalan Hingga Penetapan Tersangka

Kasus yang membelit Edi bukanlah cerita baru. KPK sudah mulai menyelidiki dugaan korupsi bansos COVID-19 sejak 26 Juni 2024. Saat itu, penyidik menemukan adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan bantuan sosial presiden di wilayah Jabodetabek.

Penyelidikan kemudian bergerak cepat. Pada 19 Agustus 2025, KPK mencegah empat orang bepergian ke luar negeri, termasuk Edi Suharto. Tiga lainnya adalah petinggi perusahaan logistik besar:

  • Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo (BRT) – Komisaris Utama PT DNR Logistics sekaligus Direktur Utama PT Dosni Roha Indonesia,
  • Kanisius Jerry Tengker (KJT) – Direktur Utama DNR Logistics periode 2018–2022,
  • Herry Tho (HER) – Direktur Operasional DNR Logistics periode 2021–2024.

Pada hari yang sama, KPK juga mengumumkan penetapan tiga individu dan dua korporasi sebagai tersangka resmi. Kerugian negara yang diakibatkan skandal ini ditaksir mencapai Rp200 miliar.

Korban Atau Pelaku?

Pernyataan Edi Suharto menimbulkan perdebatan publik. Di satu sisi, ia mengklaim dirinya hanyalah “korban sistem” — pejabat yang tak berdaya menolak perintah atasan dalam struktur birokrasi yang kaku. Namun di sisi lain, publik juga menuntut adanya tanggung jawab moral dan hukum dari para pejabat pelaksana yang seharusnya memiliki ruang untuk menolak jika perintah tersebut berpotensi melanggar hukum.

Apalagi, skandal bansos COVID-19 ini sejak awal sudah menjadi salah satu kasus korupsi paling mencolok di mata rakyat. Saat masyarakat kelaparan, justru ada pejabat yang diduga mempermainkan distribusi bantuan untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok.

Ujian Berat KPK dan Kemensos

Kasus ini sekaligus menjadi ujian baru bagi KPK di tengah sorotan publik terhadap kinerja lembaga antirasuah itu. Pertanyaan besar kini muncul:

  • Apakah KPK mampu membuktikan bahwa Edi Suharto tidak sekadar menjalankan perintah, tetapi juga ikut menikmati keuntungan?
  • Ataukah Edi benar-benar hanya pion kecil dalam permainan besar yang dikendalikan oleh elite di atasnya?

Di sisi lain, Kementerian Sosial harus kembali menghadapi hantaman citra buruk. Setelah nama Juliari P. Batubara tercoreng, kini giliran pejabat lain kembali diseret ke meja hijau. Padahal, Kemensos seharusnya menjadi garda depan penanganan krisis sosial di masa pandemi.

Edi Suharto kini menunggu nasib di hadapan hukum. Kuasa hukumnya meminta agar publik tidak buru-buru menghakimi, sebab menurut mereka, kliennya hanya menjalankan perintah jabatan. Namun, apakah alasan “sekadar melaksanakan perintah” cukup kuat untuk menghapus status tersangka?

Kasus ini jelas bukan sekadar soal hukum, tetapi juga menyangkut moralitas pejabat negara. Apakah seorang pejabat boleh menutup mata atas perintah atasan meski berpotensi merugikan rakyat? Atau justru keberanian untuk menolak perintah yang salah adalah bentuk tanggung jawab terbesar?

Jawaban atas pertanyaan itu akan sangat menentukan arah persidangan Edi Suharto, sekaligus memberi pelajaran penting bagi birokrasi Indonesia.

(T))

#KorupsiKemensos #KPK #Korupsi #Kemensos