Breaking News

Psikolog Gugat Aturan Pensiun DPR ke MK: “Beban APBN, Hanya 5 Tahun Kerja Dapat Pensiun Seumur Hidup”

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi 

D'On, Jakarta
– Polemik tunjangan pensiun anggota DPR RI kembali mencuat, kali ini lewat langkah hukum berani seorang psikolog, Lita Linggayani Gading, bersama seorang advokat bernama Syamsul Jahidin. Keduanya secara resmi mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan aturan pensiun DPR yang selama ini dianggap tidak adil dan menjadi beban berat bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Permohonan itu menyasar Pasal 1 huruf A, Pasal 1 huruf F, dan Pasal 12 Ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara. Aturan ini sudah berusia lebih dari empat dekade, namun sampai sekarang masih menjadi dasar hukum bagi anggota DPR untuk menerima pensiun seumur hidup, meski masa jabatan mereka hanya lima tahun.

Lita: “Saya Tidak Rela Pajak Saya Dipakai untuk Itu”

Dalam permohonannya yang diunggah ke laman resmi MK pada Selasa (30/9/2025), Lita menegaskan alasannya menggugat aturan tersebut. Menurutnya, pembayaran pensiun DPR bukan hanya tidak adil, tetapi juga merugikan rakyat secara keseluruhan.

“Sebagai warga negara sekaligus pembayar pajak, saya tidak rela uang pajak saya digunakan untuk membayar anggota DPR RI yang hanya menempati jabatan lima tahun tetapi bisa menikmati tunjangan pensiun seumur hidup, bahkan dapat diwariskan,” tegas Lita dalam permohonannya.

Ia menilai, di tengah rakyat yang masih bergulat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan keterbatasan akses kesejahteraan, fakta bahwa mantan anggota DPR tetap mendapat pensiun tanpa batas waktu merupakan bentuk ketidakadilan struktural yang harus segera diakhiri.

Pensiun DPR Dinilai Kontras dengan Kondisi Ekonomi Bangsa

Lita dan Syamsul mendalilkan, keberadaan tunjangan pensiun DPR justru bertolak belakang dengan upaya pemerintah yang gencar menggaungkan program pengentasan kemiskinan.

“Norma ini secara substantif menciptakan banyaknya anggota DPR RI yang mendapatkan hak pensiun yang menjadi beban APBN. Sejak undang-undang ini berlaku 45 tahun lalu, dengan perhitungan sembilan periode pemilihan, setidaknya ada 5.175 orang mantan anggota DPR yang mendapat pensiun, meski mereka hanya bekerja lima tahun,” tulis keduanya.

Angka tersebut, menurut mereka, adalah beban keuangan negara yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan nasib rakyat kebanyakan yang harus bekerja puluhan tahun sebelum berhak atas pensiun, bahkan banyak yang sama sekali tidak memilikinya.

Ketimpangan: Rakyat Harus Puluhan Tahun, DPR Cukup Lima Tahun

Salah satu poin penting yang digarisbawahi para pemohon adalah ketimpangan. Rakyat biasa, khususnya pekerja negeri, baru bisa menikmati pensiun setelah mengabdi lebih dari 20 atau 30 tahun. Sebaliknya, seorang anggota DPR cukup duduk di kursi parlemen selama satu periode (5 tahun) sudah bisa mendapatkan hak pensiun seumur hidup.

Lebih ironis lagi, hak tersebut bisa diwariskan kepada ahli waris, meski yang bersangkutan hanya sekali duduk di Senayan.

“Beban Negara, Bukan Hak Istimewa”

Lita dan Syamsul menilai sudah waktunya MK membongkar privilese yang dinikmati para anggota legislatif. Jika tidak, maka ketidakadilan struktural akan terus dipelihara dan generasi mendatang harus menanggungnya melalui pajak yang dibayarkan setiap tahun.

Bagi mereka, pensiun DPR bukanlah hak yang pantas disematkan, melainkan “beban negara yang dipoles sebagai hak istimewa”.

Pertanyaan Besar: Berani atau Tidak MK Mengubah Aturan 45 Tahun Ini?

Kini, bola ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Publik menunggu, apakah MK berani mengubah aturan yang selama 45 tahun telah menguntungkan ribuan mantan anggota DPR, atau justru mempertahankan status quo.

Gugatan Lita dan Syamsul sesungguhnya mewakili suara banyak rakyat yang muak melihat para wakil rakyat hidup dengan privilese, sementara rakyat kebanyakan harus berjibaku dengan ekonomi yang kian sulit.

(T)

#MahkamahKonstitusi #Hukum