PDIP Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Golkar Kukuh Jalan Terus: Pertarungan Makna di Balik Gelar “Pahlawan”

Politikus PDIP, Mohamad Guntur Romli, merasa keberatan dengan masuknya nama Presiden ke-2 RI, Soeharto ke dalam daftar 40 usulan penerima Gelar Pahlawan Nasional.
D'On, Jakarta — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali menimbulkan perdebatan sengit di ruang publik dan politik nasional. Bagi sebagian pihak, terutama dari kalangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), usulan itu dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Sementara bagi Partai Golkar, sosok Soeharto justru dinilai layak dihormati atas jasa besarnya dalam membangun bangsa.
PDIP: “Mengangkat Soeharto, Sama Saja Membenarkan Pelanggaran HAM”
Politikus PDIP, Mohamad Guntur Romli, menjadi salah satu suara paling keras menolak wacana tersebut. Ia menilai, memasukkan nama Soeharto ke dalam daftar 40 calon penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini bukan hanya soal penghargaan, tetapi juga tentang rekonsiliasi sejarah dan kebenaran moral bangsa.
Menurutnya, langkah itu berpotensi mengaburkan fakta sejarah kelam masa Orde Baru mulai dari pembungkaman kebebasan berpendapat, penculikan aktivis, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang belum pernah tuntas diselesaikan.
“Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa tahun 1998 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” tegas Guntur melalui keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).
Ia menilai, pemberian gelar itu bukan sekadar simbol, melainkan bisa mengubah narasi sejarah yang diperjuangkan selama lebih dari dua dekade terakhir.
“Gelar Pahlawan Nasional bukan hanya penghargaan, tapi bentuk legitimasi moral negara. Kalau diberikan kepada tokoh yang terlibat dalam penindasan rakyat, maka kita sedang mengkhianati kebenaran sejarah sendiri,” imbuhnya.
Golkar: “Pak Harto Rela Mengundurkan Diri Demi Bangsa”
Sementara itu, dari kubu Partai Golkar, sikapnya jelas: mendukung penuh pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Politikus senior Golkar, Idrus Marham, menilai langkah itu sudah sepatutnya diambil, mengingat jasa-jasa besar Soeharto dalam stabilisasi ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan pembentukan lembaga-lembaga strategis negara yang masih berdiri hingga kini.
“Pak Harto itu tokoh besar. Ada intervensi, ada rekayasa-rekayasa (politik) waktu itu. Tapi beliau tetap rela mengundurkan diri. Secara sadar, beliau menyerahkan kekuasaan kepada aturan yang ada. Itu sangat luar biasa,” kata Idrus.
Menurutnya, tindakan Soeharto mundur secara sukarela pada Mei 1998 justru menunjukkan jiwa kenegarawanan yang tinggi, bukan simbol kekuasaan absolut sebagaimana sering disematkan.
“Kita masih ingat waktu itu, beliau memilih mundur agar bangsa tidak terpecah. Itu pengorbanan yang besar. Maka tidak ada alasan bagi Golkar untuk tidak mendukung proses pemberian gelar ini,” tegas Idrus.
“Pro-Kontra Pasti Ada, Tapi Mari Kita Diskusikan Secara Terbuka”
Golkar, lanjut Idrus, menyadari bahwa usulan ini akan menuai pro dan kontra, apalagi menyangkut figur dengan sejarah panjang dan kontroversial seperti Soeharto. Namun, ia mengajak semua pihak untuk melihat dengan kepala dingin, bukan dengan emosi politik masa lalu.
“Kalau ada pro-kontra, itu hal biasa. Di rumah tangga saja, anak empat atau lima kadang tidak sepakat. Apalagi ini negara dengan 287 juta penduduk. Tapi kami terbuka berdiskusi, agar proses ini bisa berjalan baik,” ujar Idrus.
Ia pun membuka ruang dialog bagi akademisi, aktivis, maupun masyarakat sipil untuk menyampaikan pandangan dan data yang relevan. Bagi Golkar, penghargaan terhadap Soeharto bukan berarti menutup mata terhadap kesalahannya, tapi menghargai jasa dan dedikasinya bagi negara.
Pertarungan Memori dan Legitimasi Sejarah
Perdebatan mengenai gelar pahlawan untuk Soeharto bukan hanya soal nama di atas piagam. Ini menyentuh jantung pertarungan memori kolektif bangsa — antara mereka yang ingin menegaskan nilai-nilai demokrasi hasil reformasi, dan mereka yang menilai Soeharto tetap layak dikenang karena jasanya menata negeri di masa sulit.
Hingga kini, Kementerian Sosial sebagai lembaga yang berwenang masih menyeleksi usulan dari berbagai daerah dan organisasi masyarakat. Hasil resmi daftar penerima Gelar Pahlawan Nasional 2025 dijadwalkan diumumkan sebelum 10 November, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Apakah nama Soeharto akan benar-benar masuk daftar itu?
Ataukah gelar tersebut akan kembali menjadi simbol tarik-menarik antara politik sejarah dan nurani bangsa?
(T)
#GelarPahlawanNasional #Soeharto #PDIP #Golkar