Megawati Berang Disebut Jual Pulau Sipadan-Ligitan: "Emangnya Gue Jual-Jual Pulau, Buat Apa?"
Megawati memberikan sambutan dalam workshop di Balairung, Kampus Universitas Gadjah Mada, pada Rabu (1/10/2025). Foto: Istimewa
D'On, Yogyakarta – Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, mendadak meluapkan amarahnya ketika menyinggung isu sensitif yang kembali dihembuskan di media sosial. Ia berang terhadap tuduhan yang menyebut dirinya telah menjual Pulau Sipadan dan Ligitan, dua pulau kecil di perbatasan Indonesia-Malaysia yang kini statusnya sudah diputuskan Mahkamah Internasional.
“Kalau Ibu Mega itu kan sampai jual pulau yang namanya Sipadan dan Ligitan. Pengecut kamu ya, tak suruh cari orangnya,” tegas Megawati dengan nada tinggi saat memberikan sambutan dalam Workshop Pengelolaan Biodiversitas dan Penguatan HKI di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (1/10/2025).
Dengan suara bergetar menahan emosi, Ketua Umum PDI Perjuangan itu mempertanyakan dasar tudingan tersebut. “Emangnya gua jual-jual ini [pulau], buat apa?” ujarnya dengan nada kesal, disambut riuh tepuk tangan audiens yang hadir.
Tuduhan Lama yang Kembali Dihembuskan
Isu Megawati menjual Sipadan dan Ligitan bukanlah hal baru. Narasi ini kerap dipelintir oleh buzzer politik di media sosial setiap kali nama Megawati kembali menjadi sorotan. Padahal, berdasarkan fakta hukum, kedua pulau tersebut diputuskan menjadi milik Malaysia pada 17 Desember 2002 oleh Mahkamah Internasional (ICJ), setelah melalui proses panjang sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Meski begitu, tuduhan “menjual pulau” kerap diarahkan kepada Megawati yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI (2001–2004). Narasi tersebut kembali viral di jagat maya beberapa waktu terakhir, membuat Megawati akhirnya menanggapi secara terbuka.
Megawati: Beda Kritik dengan Fitnah
Di hadapan civitas akademika UGM, Megawati menegaskan bahwa dirinya terbuka terhadap kritik, tetapi menolak fitnah yang tidak berdasar. Ia bahkan menyinggung salah satu pengguna media sosial yang membela dirinya dengan argumen berbasis data.
“Anak-anak bangsa yang maunya populer karena begitu, coba pikirkan. Kalau ada mau [tanya], angkat tangan, gitu aja. Karena apa? Demokratis,” ujar Megawati.
Menurutnya, perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam demokrasi, namun harus didasari oleh data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. “Semua orang boleh berpendapat, tapi jangan asal tuduh. Itu bukan demokrasi, itu fitnah,” tambahnya.
Kegiatan Megawati di UGM
Kehadiran Megawati di UGM bukan semata-mata untuk menanggapi isu tersebut. Ia datang sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam rangka menghadiri workshop bertajuk “Pengelolaan Biodiversitas dan Penguatan HKI untuk Masa Depan Berkelanjutan: Sinergi UGM dan BRIN.”
Megawati tiba di kampus biru sekitar pukul 11.00 WIB. Setibanya di lokasi, ia disambut langsung oleh Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, dan sejumlah pejabat kampus. Agenda pertama yang dilakukan adalah penanaman pohon bodhi di halaman Balairung UGM—sebuah simbol kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam sambutannya, Ova Emilia menegaskan komitmen UGM untuk terus memperkuat riset biodiversitas tropis dan perlindungan hak kekayaan intelektual melalui kolaborasi dengan BRIN. “Kami berharap kerja sama ini dapat memperkuat ekosistem riset biodiversitas, agar hasilnya berdampak nyata bagi pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Analisis: Kenapa Isu Sipadan-Ligitan Masih Dibawa ke Megawati?
Meski keputusan ICJ terkait Sipadan-Ligitan sudah berusia lebih dari dua dekade, isu ini tetap menjadi “senjata politik” yang digunakan sebagian pihak untuk menyerang Megawati. Hal ini memperlihatkan bagaimana media sosial kerap dijadikan arena untuk memproduksi narasi simplistik yang jauh dari fakta sejarah dan hukum internasional.
Padahal, fakta menunjukkan, kasus Sipadan-Ligitan bermula sejak klaim tumpang tindih antara Belanda (yang saat itu mewakili Hindia Belanda/Indonesia) dengan Inggris (yang saat itu mewakili Malaysia). Sengketa ini dibawa ke ICJ tahun 1997, jauh sebelum Megawati menjadi presiden. Putusan ICJ 2002 memenangkan Malaysia dengan alasan bahwa negara tersebut dianggap lebih mampu mengelola kedua pulau secara administratif.
Namun di ruang digital, detail hukum dan sejarah ini sering hilang, digantikan oleh narasi sederhana: “Mega jual pulau.”
Kemarahan Megawati di UGM menunjukkan bahwa tuduhan lama tersebut masih menjadi luka politik yang belum sembuh. Ia merasa perlu meluruskan tuduhan yang tidak berdasar, apalagi dituduhkan kepada dirinya sebagai seorang mantan presiden.
Pernyataan kerasnya—“Emangnya gue jual-jual pulau, buat apa?” menjadi bentuk perlawanan terhadap fitnah digital yang terus diproduksi oleh buzzer politik.
Di balik itu, kehadiran Megawati di UGM sekaligus menegaskan perannya saat ini dalam isu-isu strategis nasional, khususnya riset dan konservasi biodiversitas bersama BRIN.
(T)
#MegawatiSoekaenoputri #Nasional #Buzzer