Kepala BGN Setuju Usulan UU MBG: Hak Gizi Anak Beradu dengan Bayang-bayang Keracunan Massal
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
D'On, Jakarta — Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyatakan setuju dengan usulan Komisi IX DPR RI untuk merancang Undang-Undang Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan itu disampaikan Dadan di Gedung DPR RI, Rabu (1/10/2025), di tengah gelombang kritik publik yang menyerukan penghentian program setelah serangkaian kasus keracunan yang menimpa peserta MBG.
“Ini kan jangka panjang ya, dan di beberapa negara yang sekarang program sudah jalan itu, dan tidak terbatas oleh periode pemerintahan.” Dadan Hindayana, Kepala BGN.
Menurut Dadan, landasan hukum yang kokoh diperlukan jika MBG hendak diperlakukan sebagai program nasional yang bertahan melampaui periode pemerintahan. Usulan pembentukan UU itu datang dari Anggota Komisi IX DPR RI, Gamal Albinsaid, yang ingin memastikan program tetap eksis walau kepemimpinan nasional berubah termasuk ketika Presiden RI Prabowo Subianto nantinya tak lagi menjabat.
Angka yang Mengkhawatirkan: Korban Banyak, Kasus Menanjak
Di sisi lain, kebijakan ini berada dalam bayang-bayang masalah keselamatan pangan. Dadan melaporkan bahwa sejak peluncuran MBG pada Januari 2025 tercatat 6.517 orang menjadi korban keracunan massal. Ia merincikan pula jumlah kejadian:
- 24 kejadian gangguan pencernaan/keracunan tercatat dari 6 Januari hingga 31 Juli 2025,
- 51 kejadian tercatat dari 1 Agustus hingga 30 September 2025,
- Sehingga total 75 kasus kejadian sepanjang Januari–September 2025.
Angka-angka itu 6.517 korban manusia dan 75 kejadian insiden menegaskan bahwa satu kejadian seringkali menimpa puluhan hingga ratusan korban sekaligus, dan menunjukkan tren peningkatan sejak Agustus 2025.
Respons Pemerintah: Lanjut tapi dengan Janji Perbaikan
Menghadapi desakan masif masyarakat untuk menghentikan program, Dadan menegaskan alasan dasar pemerintah tetap menjalankan MBG: pemenuhan hak gizi anak. Menurutnya, intervensi negara diperlukan agar anak-anak memperoleh gizi seimbang. Namun Dadan juga mengakui perlunya perbaikan manajemen dan tata kelola agar makanan yang diberikan “aman untuk konsumsi”.
“Jadi saya kira hak ini harus kita berikan dan kita akan perbaiki tata tata kelolanya sebaik mungkin. Sehingga apa yang diberikan oleh pemerintah itu aman untuk konsumsi.” Dadan Hindayana.
Pernyataan itu menempatkan BGN pada posisi defensif: menegaskan komitmen sosial sekaligus dihadapkan pada kebutuhan teknis audit rantai pasokan, standar keamanan pangan, dan mekanisme akuntabilitas.
Persimpangan Politik dan Publik: Kenapa UU Bisa Menjadi Pisau Bermata Dua
Mendorong MBG ke ranah undang-undang berarti memindahkan debat dari kebijakan publik sementara ke institusi hukum yang permanen. Kekuatan hukum bisa memberi kestabilan tetapi juga berisiko mengunci program yang belum sepenuhnya terpercaya publiknya.
Pro-pihak melihat UU sebagai cara melindungi hak gizi anak dari perubahan arah politik: program tidak lagi bergantung pada keputusan eksekutif setiap periode. Kontra-pihak menyorot masalah akuntabilitas: apakah negara siap memastikan keamanan pangan, transparansi pengadaan, dan pertanggungjawaban bila program jadi undang-undang? Kepercayaan publik bisa runtuh bila insiden berulang tetap terjadi meski program sudah diatur oleh UU.
Pilar yang Harus Ada dalam RUU MBG (Jika DPR Melanjutkan)
Jika Komisi IX dan pemerintah serius merancang RUU MBG, beberapa elemen kritikal yang perlu dipertimbangkan agar UU tidak sekadar “label” melainkan instrumen perlindungan publik:
- Standar keamanan & kualitas pangan (protokol uji laboratorium, sertifikasi penyedia).
- Pengawasan independen dan audit berkala atas rantai pasokan.
- Mekanisme pelaporan dan respons cepat ketika terjadi insiden (traceability, recall).
- Sanksi tegas untuk pelanggaran standar keselamatan dan korupsi pengadaan.
- Transparansi anggaran & data publik (jumlah porsi, penyedia, lokasi insiden).
- Pelibatan ahli gizi, masyarakat, dan komite pengawas independen dalam perumusan standar menu.
Saran-saran di atas bukan hanya teknis — melainkan kunci restorasi kepercayaan publik.
Bahaya Normalisasi dan Jalan ke Depan
Argumen Dadan bahwa MBG adalah intervensi jangka panjang yang layak mendapat payung hukum sah secara normatif namun tidak boleh menutup kenyataan bahwa program yang merenggut ribuan korban menuntut perubahan nyata, bukan sekadar legalisasi. Jika UU disahkan tanpa mekanisme perlindungan konsumen dan akuntabilitas yang kuat, undang-undang itu bisa berakhir sebagai instrumen yang mempertahankan program tetapi gagal melindungi anak.
Langkah praktis yang sekarang layak didesak oleh publik dan parlemen: audit forensik atas serangkaian kejadian keracunan, publikasi hasilnya, dan penerapan rekomendasi segera untuk perbaikan tata kelola sebelum RUU bergerak lebih jauh. Tanpa itu, legitimasi hukum akan rapuh.
Di Gedung DPR pada Rabu (1/10/2025), Dadan memilih posisi yang mengedepankan hak gizi sambil mengakui masalah operasional. Komisi IX sudah menaruh perhatian politik namun pertanyaan terbesar masih sama: bisakah negara menghadirkan MBG yang berkualitas, aman, dan tepercaya? Jawabannya akan menentukan apakah UU MBG akan menjadi warisan kebijakan yang menyelamatkan generasi, atau sekadar payung hukum yang menutupi kegagalan tata kelola.
(T)
#KeracunanMBG #MakanBergiziGratis #Nasional #BadanGiziNasional