Indonesia Setelah Shin Tae-yong: Sebuah Kisah Tentang Harapan yang Diputus di Tengah Jalan
Shin Tae-yong
Dirgantaraonline - Dulu, Piala Dunia hanyalah dongeng bagi sepakbola Indonesia.
Sebuah impian yang kerap diucapkan dengan tawa kecil dan kalimat penghibur, “Ah, paling nonton aja cukup.”
Di layar kaca, bendera merah putih tak pernah berkibar di antara deretan tim yang berlaga di ajang terbesar sejagat itu. Kita tumbuh bersama nama-nama besar: Brasil, Jerman, Argentina. Di antara mereka, kita mencari kebanggaan, karena kita tahu Indonesia tak ada di sana.
Namun, segalanya berubah ketika satu sosok datang dari Timur Asia.
Seorang pria dengan raut tenang namun tatapan tajam: Shin Tae-yong.
Pelatih asal Korea Selatan itu bukan hanya datang membawa rencana permainan, tapi juga membawa sesuatu yang jauh lebih besar: harapan.
Membangunkan Garuda yang Tertidur
Di bawah asuhannya, Timnas Indonesia yang selama ini terseok-seok di pentas Asia, tiba-tiba tampak hidup kembali.
Shin Tae-yong mengubah segalanya dari cara pemain berlatih, pola makan, kedisiplinan, hingga filosofi bermain.
Ia keras, tanpa kompromi. Namun di balik ketegasannya, ada mimpi besar: melihat Garuda benar-benar terbang tinggi di langit dunia.
Babak demi babak, turnamen demi turnamen, Indonesia mulai berani menatap lawan tanpa rasa takut.
Kita, penonton setia sepakbola negeri ini, mulai berani berharap.
Nama “Timnas” yang dulu hanya pemicu rasa kecewa, kini kembali jadi kebanggaan.
Ingatkah kamu momen melawan Argentina di Jakarta?
Juara dunia itu datang dengan skuad terbaiknya. Tak ada yang mengira Indonesia bisa menandingi. Tapi malam itu, meski kalah 2-0, kita tidak merasa kalah. Kita bangga. Kita percaya diri. Kita berkata:
“Lihatlah, kita bisa melawan juara dunia tanpa minder!”
Untuk pertama kalinya, kalimat “kita bisa masuk Piala Dunia” terdengar begitu masuk akal.
Optimisme itu terasa di udara, di warung kopi, di rumah-rumah, di setiap status media sosial.
Kita mulai menyebut skuad Garuda dengan sebutan “King Indo” sebuah bentuk kepercayaan diri yang dulu tak pernah ada.
Ketika Segalanya Berbalik Arah
Namun, layaknya cerita tragis sepakbola, titik balik datang terlalu cepat.
Di saat semangat nasional baru saja pulih, di saat sistem mulai terbentuk, di saat masa depan tampak begitu dekat segalanya berantakan.
Shin Tae-yong dipecat.
Tak ada perpisahan hangat. Tak ada penghargaan layak bagi sosok yang telah membangunkan mimpi sepakbola kita.
Yang tersisa hanyalah narasi dingin dan tuduhan-tuduhan yang berseliweran di udara:
“Dia gagal bawa trofi.”
“Ruang ganti tidak harmonis.”
“Pemain tidak akur dengan pelatih.”
Netizen sibuk memperdebatkan hal-hal di luar lapangan.
Talkshow di televisi menjadikannya bahan sindiran.
Dan federasi entah dengan alasan apa memutuskan jalan yang telah dibangun selama lima tahun terakhir.
Ironisnya, kontrak yang belum lama diperpanjang tiba-tiba diputus begitu saja.
Shin Tae-yong pergi tanpa sempat berpamitan pada publik yang sudah mulai percaya pada sepakbola bangsanya sendiri.
Datangnya Pelatih Baru: Nama Besar, Tapi Tanpa Ruh
Sebagai pengganti, federasi menunjuk Patrick Kluivert, legenda Belanda dan eks striker Barcelona.
Nama besar di masa lalu, tapi dengan jejak kepelatihan yang samar.
Kehadirannya disambut bukan dengan harapan, tapi dengan tanya:
“Kenapa dia?”
“Apa dia tahu betapa besar beban ini?”
Sesi perkenalannya berlangsung di tengah suasana Natal dingin, datar, tanpa kehangatan.
Foto yang ditampilkan di akun resmi federasi justru memperlihatkan Kluivert ketika masih menjadi pemain, bukan pelatih.
Seolah pesan itu ingin mengatakan: “Yang kami bawa adalah nama besar, bukan visi.”
Federasi menyebutnya datang bersama “staf kepelatihan terbaik.”
Namun, kehebatan di atas kertas tak mampu menyelamatkan kenyataan di lapangan.
Debutnya? Kekalahan telak 5–1 dari Australia.
Sebuah pembuka yang mengoyak kepercayaan publik, yang baru saja belajar mencintai timnasnya lagi.
Harapan yang Dipadamkan
Meski dengan segala kekacauan itu, Indonesia masih mampu menembus babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026.
Dua pertandingan terakhir melawan Arab Saudi dan Irak menjadi momen hidup dan mati.
180 menit yang bisa menentukan apakah kita benar-benar akan mencatat sejarah atau kembali menjadi catatan kaki.
Namun hasilnya menyakitkan.
Dua kekalahan beruntun memupuskan segalanya.
Bukan hanya skor yang menghancurkan, tapi juga rasa kehilangan arah.
Mimpi yang sudah setengah jadi, kini hancur di tangan orang yang bahkan belum sempat mengenal denyut nadi sepakbola kita.
Federasi menciptakan racunnya sendiri.
Mereka mencampurkannya ke dalam sup harapan kita yang sudah hampir matang hingga akhirnya tumpah, basi, dan tak bisa lagi diselamatkan.
Pertanyaan yang Menggantung di Udara
Kini, di antara reruntuhan mimpi itu, ada satu pertanyaan yang menggema di hati para pencinta sepakbola Indonesia:
“Kalau akhirnya gagal juga, mengapa tidak bersama Shin Tae-yong saja?”
Ini bukan tentang memuja seseorang.
Bukan tentang menjadikan Shin Tae-yong sebagai pahlawan tunggal.
Tapi tentang menghargai proses.
Tentang memberi waktu bagi sebuah visi untuk tumbuh.
Tentang tidak menghancurkan sesuatu yang sedang bekerja hanya karena ego dan politik.
Shin Tae-yong mungkin bukan pelatih sempurna.
Ia bukan pencipta permainan indah. Ia lebih mengandalkan serangan balik dan disiplin, bukan tiki-taka atau gaya romantik.
Tapi di tangannya, kita kembali mencintai Timnas. Kita kembali percaya.
Dan sekarang, ketika semua telah berantakan, kita hanya bisa menatap layar televisi dengan hening, sambil berkata pelan:
“Kalau akhirnya harus gagal, bukankah lebih baik gagal bersama orang yang membuat kita bermimpi?”
Bukan sekadar nama, tapi suara hati jutaan penikmat sepakbola Indonesia yang sedang belajar memahami arti kehilangan.
Penulis: Osmond Abu Khalil
#Sepakbola #Olahraga