Breaking News

165 Politisi Duduki Kursi Komisaris BUMN, Profesional Kalah Jumlah

Kantor Kementerian BUMN.

D'On, Jakarta
– Transparency International Indonesia (TI Indonesia) merilis temuan mengejutkan terkait komposisi jabatan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaannya. Hasil riset lembaga antikorupsi tersebut menunjukkan bahwa mayoritas kursi komisaris diisi oleh kalangan politisi dan birokrat, sementara peran profesional justru makin terpinggirkan.

Dalam penelitian terhadap 59 induk BUMN dan 60 anak usaha yang datanya bersumber dari Laporan Keuangan Gabungan BUMN 2023, TI Indonesia mendapati 165 kursi komisaris (29,36 persen) ditempati politisi, termasuk relawan politik. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan 133 komisaris dari kalangan profesional (23,67 persen).

Selain politisi, kelompok terbesar lainnya adalah birokrat dengan 174 orang atau sekitar 31 persen. Jika digabungkan, politisi dan birokrat menguasai hampir 60 persen kursi komisaris di perusahaan pelat merah, menunjukkan dominasi yang kian kuat.

Dominasi Politisi dan Birokrat di Induk BUMN

Bila dirinci lebih jauh, dominasi politisi dan birokrat tampak jelas di level induk BUMN. Dari keseluruhan, 37,8 persen komisaris berasal dari birokrat dan 31,3 persen dari politisi. Kondisi ini memperlihatkan betapa eratnya hubungan politik dengan posisi strategis di tubuh BUMN.

Sementara itu, di level anak usaha BUMN, tren sedikit bergeser. Gabungan komisaris dari kalangan politisi dan birokrat mencapai 51,9 persen, sedangkan profesional hanya mampu menempati 32,1 persen kursi. Dengan kata lain, perusahaan pelat merah lebih banyak mengandalkan figur dengan latar belakang kekuasaan ketimbang keahlian bisnis dan industri.

Risiko Konflik Kepentingan

TI Indonesia menilai, praktik penempatan komisaris dari kalangan politisi, birokrat, bahkan relawan politik menimbulkan risiko besar: konflik kepentingan dan melemahnya tata kelola perusahaan. Jabatan strategis di BUMN yang seharusnya diisi berdasarkan meritokrasi, justru kerap dijadikan “ladang basah” untuk balas budi politik atau distribusi kekuasaan.

“Minimnya pelibatan kelompok profesional sebagai komisaris mengindikasikan semakin lemahnya sistem meritokrasi di BUMN,” tegas TI Indonesia dalam keterangan resminya, Kamis (2/10/2025).

Rangkapan Jabatan: Putusan MK Diabaikan

Kritik TI Indonesia makin tajam setelah menyoroti fakta bahwa pemerintah tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 28 Agustus 2025. Putusan tersebut seharusnya memperkuat dorongan untuk mengurangi praktik rangkap jabatan.

Namun kenyataannya, 33 wakil menteri masih merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Bahkan, ada pejabat tinggi negara yang masih memegang kursi strategis di perusahaan pelat merah:

  • Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM menjabat sebagai komisaris di BP Danantara.
  • Kepala Staf Kepresidenan (KSP) diketahui merangkap sebagai komisaris di PT Pertamina Hulu Energi.

Kondisi ini dinilai menabrak prinsip good corporate governance dan memperbesar potensi konflik kepentingan, sebab pejabat publik memegang peran ganda antara regulator sekaligus pengawas perusahaan negara.

Desakan untuk Presiden Prabowo

Menyikapi situasi tersebut, TI Indonesia mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengambil langkah nyata memperbaiki tata kelola BUMN. Beberapa rekomendasi utama yang diajukan antara lain:

  1. Menerapkan mekanisme cooling off period bagi anggota partai politik, mantan birokrat, aparat penegak hukum, dan militer sebelum dapat menduduki jabatan komisaris.
  2. Memperkuat sistem pemilihan pucuk pimpinan BUMN agar tidak lagi sarat kepentingan politik.
  3. Mengutamakan profesionalisme dan meritokrasi, bukan latar belakang politik atau kedekatan dengan kekuasaan.

“Setidaknya dapat dimulai dari sistem pemilihan pucuk pimpinan di BUMN,” tulis TI Indonesia.

BUMN Sebagai “Kue Kekuasaan”?

Temuan ini kembali memunculkan pertanyaan klasik: apakah BUMN benar-benar dikelola untuk kepentingan bisnis dan pelayanan publik, ataukah sekadar menjadi kue kekuasaan yang diperebutkan elite politik?

Dengan nilai aset yang sangat besar dan peran vital dalam perekonomian nasional, keberadaan komisaris yang tidak profesional dikhawatirkan justru membebani kinerja perusahaan, memperbesar risiko korupsi, dan melemahkan daya saing BUMN di tingkat global.

(T)

#BUMN #Nasional