Nasihat Terakhir DN Aidit kepada Sang Adik Sebelum Meletusnya G30S 1965

Sebulan sebelum Gerakan 30 September 1965 meletus, Sobron Aidit mendapat pesan dari sang kakak, DN Aiditi, untuk tidak pulang dulu ke Indonesia. Tanah Air sedang memanas kondisinya.
Dirgantaraonline - Sebulan sebelum pecahnya tragedi Gerakan 30 September 1965, Dipa Nusantara (DN) Aidit, tokoh utama Partai Komunis Indonesia (PKI), sempat memberikan nasihat terakhir kepada adiknya, Sobron Aidit, di Beijing, Tiongkok. Pertemuan singkat itu, yang direkam Sobron dalam memoarnya Penalti Tanpa Wasit, ternyata menjadi momen perpisahan terakhir antara kakak beradik tersebut.
Pertemuan yang Menggelisahkan
Pada Agustus 1965, DN Aidit berkunjung ke Beijing. Sementara itu, Sobron sedang mengajar di sana. Malam itu, Sobron sulit tidur. Ia gelisah karena Aidit sebelumnya berpesan agar ia menginap di tempatnya. Ada hal penting yang ingin disampaikan.
Namun, pertemuan baru terjadi keesokan harinya saat sarapan. Begitu bertemu, Aidit langsung memeluk adiknya yang sudah tiga tahun tidak ia jumpai. Dengan hangat, ia menampar pipi Sobron dengan manja, lalu menanyakan kabar sang istri, Wati, dan kedua anak Sobron.
Setelah itu, Aidit menggamit adiknya menuju kursi kosong, menjauh dari rombongan. Di situlah, dengan nada serius, ia menyampaikan pesan yang kelak terasa seperti firasat:
“Dengarkan baik-baik. Tanah air sedang hangat. Situasi dan suasana sedang naik tegang. Tidak seorang pun di antara kalian boleh pulang buat sementara ini,” ujar Aidit.
Aidit juga menekankan agar Sobron rajin mendengarkan radio dari berbagai negara, mulai dari Jepang, Australia, Amerika Serikat, hingga Jakarta. “Harus pandai menyaring berita, selalu saling konsultasi antar teman,” pesannya.
Bagi Sobron, kata-kata itu terasa bukan sekadar nasihat kakak kepada adik, melainkan briefing politik di tengah situasi tanah air yang genting.
Malam Makan Bersama yang Terakhir
Aidit kemudian mengajak Sobron makan malam. Sobron tentu gembira, tanpa menyadari bahwa momen itulah pertemuan terakhir dengan sang kakak.
Beberapa minggu kemudian, Indonesia diguncang tragedi G30S 1965. DN Aidit menghilang dan akhirnya dieksekusi pada November 1965. Hingga kini, makamnya tidak pernah diketahui secara pasti.
“Sungguh menyedihkan dan sungguh tragis,” tulis Sobron mengenang kakaknya.
Sisi Lain DN Aidit: Anak yang Gemar Menabung
Dalam memoarnya, Sobron juga menggambarkan sisi manusiawi Aidit sejak kecil. Ia bercerita, Aidit—yang akrab dipanggil Amat di rumah—dikenal rajin menabung. Bahkan, pernah membantu ayah mereka, Abdullah Aidit, melunasi utang sebesar 30 gulden kepada sebuah toko.
Jumlah itu pada masa itu sangat besar, dan pengorbanan Aidit membuat keluarganya terharu. “Bang Amat selalu melakukan hal-hal besar yang kami tak sanggup melakukan. Rasanya, seandainya kami ini murid-muridnya, kami adalah murid yang selalu tinggal kelas karena terbelakang dan bodoh,” kenang Sobron.
Warisan Sejarah dan Tragedi
Nasihat terakhir Aidit kepada Sobron pada Agustus 1965 kini dikenang sebagai peringatan yang tak sempat terbaca. Di baliknya tersimpan dua wajah: kasih seorang kakak kepada adik, sekaligus peringatan politik dari seorang tokoh yang sadar badai besar akan segera menerpa.
Bagi sejarah Indonesia, pertemuan singkat itu menjadi fragmen kecil yang menyatukan kisah pribadi dan tragedi nasional. Sebuah momen manusiawi dari tokoh yang kemudian tercatat sebagai salah satu figur paling kontroversial dalam sejarah negeri ini.
(*)
#Sejarah #DNAidit #PKI