Breaking News

Istana Tegaskan Program Makan Bergizi Gratis Tetap Jalan Meski Ribuan Anak Keracunan

UMKM Aiko Maju menjadi pemasok bahan baku untuk dapur umum dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) (Dok. BRI)

D'On, Jakarta
— Polemik program Makan Bergizi Gratis (MBG) kian mencuat setelah laporan kasus keracunan anak-anak penerima manfaat terus bertambah hingga menembus angka lebih dari 5.000 siswa di berbagai daerah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong penghentian sementara program agar dilakukan evaluasi menyeluruh. Namun, Istana menegaskan MBG akan tetap berjalan, dengan perbaikan sistem yang lebih ketat.

Istana: "Program Jangan Dimatikan, Kita Perbaiki"

Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Juri Ardiantoro menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak ingin program unggulannya berhenti hanya karena kasus keracunan. Menurutnya, MBG merupakan program vital untuk pemenuhan gizi anak bangsa.

“Pasti tentu didengar ya, memang ada aspirasi dari berbagai kalangan. Ada yang minta evaluasi total, ada yang minta berhenti sementara. Tapi arahan Presiden jelas: tidak perlu menghentikan secara total, yang penting kita perbaiki sambil jalan,” kata Juri di Istana Negara, Kamis (25/9/2025).

Ia menambahkan, Presiden telah memerintahkan mitigasi menyeluruh agar ruang terjadinya masalah baru bisa ditutup. “Yang penting kita menyelamatkan program yang baik ini. Jangan sampai ada demoralisasi hanya karena ada sesuatu yang tidak pas. Program ini dibutuhkan anak-anak kita,” tegasnya.

KPAI: "Keracunan Anak Sudah Tidak Bisa Ditoleransi"

Sikap pemerintah ini berseberangan dengan KPAI. Wakil Ketua KPAI Jasra Pustra menilai kasus keracunan yang terjadi berulang kali menandakan lemahnya pengawasan Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggara MBG.

“Kejadian keracunan ini bukan menurun, tapi justru meningkat. Satu anak saja yang keracunan sudah cukup banyak bagi kami. Apalagi ini ribuan,” ujar Jasra dalam keterangan tertulis, Minggu (21/9/2025).

Ia menyoroti kerentanan anak-anak, khususnya di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang menjadi korban. “Pertahanan tubuh mereka berbeda dengan orang dewasa. Mereka belum bisa mengungkapkan kondisinya dengan jelas. Maka diperlukan perhatian ekstra,” lanjutnya.

KPAI mengusulkan agar MBG dihentikan sementara hingga sistem panduan dan pengawasan benar-benar dijalankan sesuai standar. Jasra juga mendesak adanya petugas khusus penanganan keracunan anak PAUD, lengkap dengan alat kesehatan standar darurat.

Data Mengejutkan: Lebih dari 5.000 Anak Jadi Korban

Kepala Staf Presiden (KSP) M. Qodari mengungkap data terbaru yang menggambarkan betapa seriusnya persoalan ini. Berdasarkan laporan gabungan BGN, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan BPOM, jumlah anak yang terdampak keracunan sudah menembus lebih dari 5.000 orang.

  • BGN: 46 kasus, 5.080 korban (per 17 September)
  • Kemenkes: 60 kasus, 5.207 korban (per 16 September)
  • BPOM: 55 kasus, 5.320 korban (per 10 September)
  • JPPI: 5.360 siswa terdampak

“Memang ada perbedaan angka, tapi tren yang ditunjukkan semua lembaga sama: kasus keracunan sangat masif. Puncaknya terjadi Agustus 2025, paling banyak di Jawa Barat,” kata Qodari, Senin (22/9/2025).

Menurut asesmen BPOM, penyebab utama keracunan antara lain:

  • Higienitas makanan yang buruk
  • Penyimpangan suhu makanan saat distribusi
  • Pengolahan pangan tidak sesuai standar
  • Kontaminasi silang dari petugas penyaji
  • Faktor alergi makanan pada sebagian anak

Qodari menegaskan, pemerintah tidak menutup mata. “Pemerintah tidak tone deaf. Bahkan Mensesneg sudah menyampaikan permintaan maaf dan komitmen penuh untuk evaluasi,” tegasnya.

Tarik-Ulur: Jalan Terus atau Dihentikan Sementara?

Situasi ini memunculkan dilema besar. Di satu sisi, MBG dipandang sebagai program strategis nasional yang menyangkut pemenuhan gizi jutaan anak, terutama dari keluarga kurang mampu. Namun di sisi lain, ribuan kasus keracunan menggerus kepercayaan publik.

KPAI dan sebagian masyarakat mendesak pemerintah berhenti sejenak untuk membenahi sistem distribusi, pengawasan, hingga higienitas. Sementara pemerintah berpendapat penghentian justru berisiko mengganggu keberlangsungan gizi anak-anak di daerah rawan stunting.

Tantangan Besar di Depan

Polemik MBG menjadi ujian serius bagi pemerintahan Prabowo. Program yang semula dipuji sebagai langkah revolusioner pemenuhan gizi, kini terancam kehilangan legitimasi jika tidak segera ditangani dengan transparan dan tegas.

Apakah pemerintah akan berhasil memperbaiki sistem tanpa menghentikan program, atau tekanan publik akan semakin kuat mendorong penghentian sementara? Jawabannya akan menentukan masa depan jutaan anak penerima manfaat MBG di seluruh Indonesia.

(L6)