Breaking News

Eks Kabag Ops Polres Solok Selatan Divonis Seumur Hidup, Kasus Polisi Tembak Polisi yang Gegerkan Sumbar

Eks Kabag Ops Polres Solok Selatan AkP Dadang Dituntut Hukuman Mati Atas Kasus Polisi Tembak Polisi (Dok: Mond)

D'On, Padang
– Majelis hakim Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis pidana seumur hidup kepada mantan perwira Polri, Dadang Iskandar bin Totok Sunarto, Rabu (17/9/2025). Dadang dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana terhadap rekannya di kepolisian, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan, yang tewas dalam peristiwa penembakan pada 22 November 2024.

Putusan itu menutup babak panjang yang dimulai dari insiden tragis, penyidikan internal Polri, hingga proses persidangan yang menghadirkan saksi-saksi kunci dan bukti-bukti yang menurut jaksa menunjukkan unsur perencanaan.

Amar putusan dan suasana sidang

Ketua majelis hakim, Aditya Danur Utomo, membacakan amar vonis secara lugas:
“Mengadili, saudara yang telah melakukan pembunuhan berencana … Memutuskan, Dadang Iskandar bin Totok Sunarto dengan hukuman pidana seumur hidup,” demikian bunyi inti putusan yang disampaikan di ruang sidang.

Saat hakim membacakan putusan, terdakwa hanya menunduk  tanpa ekspresi yang tampak  sebelum kembali mengenakan rompi tahanan berwarna merah. Setelah amar, majelis menanyakan apakah penasihat hukum dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mengajukan banding; kedua pihak menyatakan masih akan “pikir-pikir”.

Kronologi singkat peristiwa

  • 22 November 2024 — Peristiwa penembakan yang menewaskan kepala reskrim Polres Solok Selatan terjadi. Pelaku dalam penyidikan awal diidentifikasi sebagai AKP Dadang Iskandar, yang saat itu menjabat sebagai Kabag Operasional.
  • November 2024 — Dadang dipecat dari kepolisian; menurut catatan internal, pemecatan ini karena “perbuatan tercela dan pelanggaran kode etik serta profesi Polri.” Ia tidak mengajukan banding atas keputusan pemecatan tersebut.
  • Proses peradilan berjalan dengan agenda pemeriksaan saksi, tuntutan jaksa (pada persidangan 26 Agustus lalu jaksa menuntut hukuman mati), dan akhirnya putusan seumur hidup pada 17 September 2025.

Bukti, saksi, dan versi jaksa

Jaksa penuntut umum, yang diketuai Fitriansyah Akbar (Kepala Kejaksaan Negeri Solok Selatan), berpendapat bahwa pemeriksaan saksi dan bukti menunjukkan unsur pembunuhan berencana sebagaimana Pasal 340 KUHP. Dalam tuntutannya, jaksa menilai tindakan Dadang dipicu oleh “kekecewaan, sakit hati, dan amarah terhadap penangkapan galian C” — tambang bahan bangunan yang menurut jaksa memberi kepentingan ekonomi kepada terdakwa. Oleh karena itu, pada sidang sebelumnya jaksa menuntut hukuman mati.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa Dadang memiliki kepentingan pada proyek galian golongan C yang menjadi titik silang konflik dengan penindakan yang dilakukan korban.

Saksi kunci: versi Kapolres

Dalam persidangan, sejumlah keterangan penting disampaikan oleh pihak kepolisian yang terlibat. Kapolres Solok Selatan saat kejadian, AKBP Arif Mukti Surya, memberi keterangan mengenai interaksi antara Dadang dan korban sebelum penindakan terhadap galian C dilakukan. Arif menyebutkan bahwa Dadang sempat dua kali menemuinya, menyampaikan bahwa rekan yang dirujuk (kemudian berkaitan dengan proyek embung) sedang menangani urusan tersebut, dan bahwa Dadang sempat menyerahkan amplop cokelat yang kemudian ditolak oleh Arif. Arif mengaku tidak mengetahui isi amplop tersebut.

Keterangan-keterangan ini dipakai jaksa untuk membangun narasi adanya motif ekonomi dan pengaruh pribadi yang berbenturan dengan tugas aparat penegak hukum.

Reaksi keluarga korban: duka dan harap hukuman maksimal

Suasana sidang berubah hening ketika keluarga korban mendengar putusan. Mutia, salah satu anggota keluarga, tak kuasa menahan air mata saat menatap terdakwa dan menyampaikan: “Temui adik saya di alam sana. Kamu bilang kamu gentleman.” Kalimat singkat itu memuat kepedihan yang tak terobati oleh proses pengadilan.

Sementara itu, Cristina Yun Abubakar, yang disebut sebagai ibu korban (dalam beberapa keterangan disebut sebagai Ryanto Ulil Anshar), menyatakan bahwa putusan adalah hak majelis hakim. “Itu hak hakim yang memutuskan. Saya tidak bisa mengomentarinya karena itu adalah hak hakim,” kata Cristina, sembari menegaskan bahwa apa pun hukuman yang dijatuhkan tidak akan mengembalikan nyawa anaknya. Ia bahkan menyebut berharap hukuman seberat-beratnya—sesuai tuntutan jaksa—karena kehilangan itu tak tergantikan.

Perbandingan tuntutan dan vonis; langkah hukum berikutnya

Vonis seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang mengharapkan hukuman mati. Secara prosedural, baik pihak terdakwa (melalui penasihat hukum) maupun JPU masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum (banding atau kasasi) dalam jangka waktu yang ditetapkan undang-undang. Dalam sidang, kedua pihak menyatakan akan mempertimbangkan opsi tersebut.

Implikasi untuk institusi: etika, akuntabilitas, dan pengawasan internal

Kasus ini menyoroti dua hal utama yang sensitif bagi institusi kepolisian: konflik kepentingan internal dan penanganan tambang/galian ilegal yang sering memicu benturan kepentingan antara aparat dan pelaku usaha lokal. Pemecatan Dadang pada November 2024 menyiratkan langkah internal disipliner yang cepat, namun akar masalah mengapa seorang perwira terlibat dalam proyek yang berpotensi konflik kepentingan dengan tugasnya menuntut evaluasi kebijakan pengawasan internal dan mekanisme pencegahan penyalahgunaan wewenang.

Publik kerap menilai kredibilitas penegakan hukum tidak hanya dari vonis pengadilan pidana, tetapi juga dari keberlangsungan reforma internal yang mencegah pengulangan kasus serupa.

Luka yang tak mudah sembuh

Putusan pengadilan memberi respons hukum atas tindakan yang menghilangkan nyawa seorang penyidik. Namun bagi keluarga korban, hilangnya anak dan saudara tetap menyisakan luka mendalam yang tak bisa ditutup dengan vonis apa pun. Bagi institusi, putusan ini menjadi momen refleksi: menegakkan hukum terhadap pelanggar di dalam tubuhnya sendiri sekaligus menutup celah-celah yang memungkinkan konflik kepentingan memicu tragedi.

Laporan ini disusun berdasarkan keterangan persidangan, tuntutan jaksa, dan pernyataan keluarga sebagaimana dikabarkan dalam proses persidangan. Untuk rincian administrasi pengadilan, draf putusan, atau perkembangan upaya banding, pembaruan akan tercatat dalam dokumen resmi pengadilan dan jaksa.

(Mond)

#PolisiTembakPolisi #AKPDadang #Polri #Hukum