Breaking News

Bentrok Berdarah di Sihaporas: Konflik Panjang PT TPL dan Masyarakat Adat yang Tak Kunjung Usai

Tangkapan layar video situasi bentrokan antara masyarakat adat Sihaporas dan PT TPL di Buttu Pangaturan, Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Senin (22/9/2025). Foto/AMAN Tano Batak

D'On, Simalungun, Sumatera Utara
— Suasana mencekam kembali menyelimuti tanah adat Sihaporas, Senin (22/9/2025). Bentrokan hebat pecah antara masyarakat adat Sihaporas Pomparan Ompu Mamontang Laut Ambarita dengan pihak PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Puluhan orang jatuh sebagai korban, mayoritas perempuan. Bahkan seorang mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tengah melakukan penelitian di lokasi juga menjadi sasaran kekerasan.

Peristiwa ini bukan yang pertama. Dalam kurun waktu Maret 2024 hingga September 2025 saja, sedikitnya tujuh kali bentrokan serupa terjadi di kawasan adat yang diklaim sebagai konsesi perusahaan pulp dan kertas tersebut. Konflik yang telah berlangsung sejak masa Orde Baru ini kini memasuki babak baru: lebih brutal, lebih memakan korban, dan semakin membuka luka lama masyarakat adat.

Bentrok di Tanah Leluhur

Bentrokan Senin pagi bermula ketika sekitar 150 orang dari pihak PT TPL datang ke Buttu Pangaturan, Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik. Rombongan itu terdiri dari sekuriti, buruh harian lepas, serta orang-orang yang disebut warga sebagai “preman bayaran”. Mereka datang dengan perlengkapan mirip pasukan tempur: kayu, tameng, hingga helm.

Sekitar 30 warga adat yang berjaga di lokasi mencoba membuka ruang dialog. Namun, menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, upaya itu ditolak mentah-mentah. Saling dorong pun terjadi, disusul pemukulan dan pelemparan batu.

Tak berhenti di situ. Massa PT TPL terus berdatangan hingga jumlahnya ditaksir mencapai 1.000 orang. Situasi berubah menjadi penyerangan brutal. Dua posko perjuangan, lima gubuk pertanian, empat rumah, sepuluh motor, dan satu mobil milik warga hangus dibakar. Laptop, ponsel, serta barang pribadi warga juga hilang dalam kekacauan itu.

Sedikitnya 33 orang dari pihak masyarakat adat luka-luka, 18 di antaranya perempuan. Sepuluh korban mengalami luka serius, termasuk lima perempuan yang mengalami cedera parah di kepala dan mulut. Hingga berita ini ditulis, 14 orang masih dirawat intensif di rumah sakit di Pematang Siantar.

“Sudah ada sembilan orang korban yang resmi melapor ke polisi,” ujar Arga Ambarita, Sekretaris Lembaga Adat Lamtoras. Ia menegaskan agar aparat bekerja profesional. “Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kalau tidak, kami akan ambil apa yang memang jadi hak kami.”

Sejarah Panjang Perampasan Tanah Adat

Wilayah adat Sihaporas membentang 2.049,86 hektare dan telah dihuni 18 generasi masyarakat adat. Sejarah mencatat, sejak 1913 tanah ini dipaksa dipinjam Pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanami pinus. Bukti pengakuan tertulis masih tersimpan dalam peta enklaf Belanda tahun 1916.

Namun, nasib buruk menghampiri di era Orde Baru. Pada 1990, pemerintah memasukkan tanah adat ini ke dalam konsesi PT Inti Indorayon Utama—perusahaan yang kemudian berganti nama menjadi PT TPL. Sejak saat itu, konflik agraria tiada henti.

Hutan adat yang menjadi sumber air, tempat sakral ritual, sekaligus sumber penghidupan masyarakat adat perlahan menghilang, digantikan dengan eukaliptus untuk kepentingan industri.

Versi TPL: “Kami yang Diserang”

Di sisi lain, PT TPL menolak tuduhan menyerang masyarakat adat. Salomo Sitohang, Corporate Communication Head PT TPL, menyebut laporan AMAN Tano Batak menyesatkan.

Menurutnya, insiden terjadi ketika pekerja hendak memanen eukaliptus di area konsesi Sektor Aek Nauli. Sekitar pukul 08.30 WIB, sekelompok orang disebut menghadang, melempar batu, dan memblokir jalan.

Akibatnya, lima pekerja perusahaan luka-luka dan beberapa aset perusahaan terbakar. “Perusahaan membantah keras tudingan yang tidak sesuai fakta. Ini aksi anarkis yang jelas mengganggu operasional,” kata Salomo.

Ia menegaskan PT TPL beroperasi sesuai izin resmi, yakni PBPH berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 jo. SK Menteri LHK No. SK.1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021. “Kami selalu mengedepankan dialog dan solusi damai,” tambahnya.

Sikap Aparat: Netral atau Terlambat?

Pasca bentrokan, Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang langsung membesuk korban di rumah sakit. Ia menyebut pihaknya berupaya meredam konflik dengan mengosongkan lokasi dan melakukan mediasi.

“Kami harap kedua pihak menahan diri. Situasi di lokasi sekarang status quo,” ujarnya. Namun, masyarakat adat menilai polisi terlambat. Laporan sudah masuk sejak bentrokan pecah, tapi aparat baru tiba di lokasi selasa siang, hampir 24 jam setelah kejadian reda.

Suara Keras dari LSM

Berbagai organisasi masyarakat sipil mengecam keras insiden ini.

  • Bakumsu (Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut) mendesak pemerintah segera menghentikan intimidasi dan kekerasan, serta mengesahkan UU Perlindungan Masyarakat Adat.
  • KontraS Sumut menyebut peristiwa ini sebagai praktik perampasan tanah adat sekaligus pelanggaran HAM. “Ini bukan sekadar bentrokan, tapi bukti negara membiarkan kekerasan terulang,” tegas Adhe Junaedy, staf KontraS Sumut.

Menurut catatan KontraS, sepanjang Maret 2024–September 2025, sudah tujuh kali bentrok terjadi. Bagi mereka, negara gagal menyelesaikan konflik agraria dan justru membiarkan PT TPL beroperasi dengan praktik represif.

Konflik yang Belum Ada Ujungnya

Kasus Sihaporas adalah gambaran nyata dari wajah buram konflik agraria di Indonesia. Di satu sisi, masyarakat adat berpegang pada hak turun-temurun atas tanah leluhur mereka. Di sisi lain, perusahaan berdiri dengan izin resmi dari negara.

Pertanyaan besar kembali muncul: sampai kapan negara membiarkan lingkaran kekerasan ini berulang? Apakah konflik akan kembali diredam sesaat untuk kemudian meledak lagi, atau akhirnya ada keberanian politik untuk mengakui hak-hak masyarakat adat?

Yang jelas, darah sudah tumpah di tanah Sihaporas. Luka dan trauma semakin dalam. Dan jika tak ada penyelesaian adil, bentrokan berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.

(T)