Nasib Perempuan di Zaman Jahiliyah: Dari Kekerasan Rumah Tangga Hingga Kubur Hidup-hidup
Ilustrasi
Dirgantaraonline - Kehidupan perempuan di zaman jahiliyah, sebelum kedatangan Islam melalui Nabi Muhammad SAW, adalah potret kelam sejarah yang menyayat hati. Perempuan tidak hanya kehilangan hak-hak dasar sebagai manusia, tetapi juga sering diperlakukan tidak lebih dari sekadar barang yang bisa diwariskan, dinikahi, diceraikan, bahkan dibuang sesuka hati kaum lelaki.
Perceraian: Hak Mutlak Suami
Dalam masyarakat Arab jahiliyah, perceraian hanya dimiliki oleh pihak suami. Ia bisa menjatuhkan talak kapan saja, tanpa alasan yang jelas, bahkan tanpa pertimbangan nasib istri yang ditinggalkannya. Sebaliknya, seorang istri sama sekali tidak berhak mengajukan perceraian. Satu-satunya pengecualian hanya terjadi jika sang istri sejak awal pernikahan mensyaratkan hak talak bagi dirinya sendiri dan itu pun hanya segelintir perempuan bangsawan yang berani melakukannya.
Beberapa nama perempuan yang berani menuntut hak ini terekam dalam sejarah, seperti Salma binti al-Harsyab al-Anmariyyah, Ummu Kharijah yang bahkan menjadi peribahasa Arab karena keberaniannya, hingga Atikah binti Murrah. Namun kasus-kasus seperti ini sangat jarang, dan tidak mencerminkan realitas umum perempuan kala itu.
Perempuan, Pemicu Damai dan Peperangan
Meski terkungkung aturan patriarkis, keberadaan perempuan di kabilah Arab memiliki peran unik. Seorang perempuan yang berpengaruh bisa menggerakkan pasukan, mendamaikan perselisihan, atau sebaliknya, menyalakan api peperangan. Namun, di ranah keluarga, mereka tetap diposisikan di bawah dominasi laki-laki. Setiap perkataan suami adalah perintah yang tidak boleh dibantah. Perempuan tidak memiliki kebebasan memilih pasangan, karena semua keputusan harus melalui persetujuan wali.
Nasib Tragis: Dari Warisan Hingga Kubur Hidup-hidup
Namun, tragedi terbesar dalam kehidupan perempuan jahiliyah justru terjadi sejak lahir. Bayi perempuan dianggap aib, bahkan malapetaka bagi keluarga. Banyak di antara mereka yang langsung dikubur hidup-hidup begitu dilahirkan. Perbuatan biadab ini kemudian diabadikan dalam firman Allah SWT:
“Dan ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS At-Takwir: 8-9)
Bagi mereka yang “dibiarkan” hidup, nasibnya pun tak kalah menyedihkan. Mereka tumbuh tanpa kehormatan, tidak mendapatkan warisan, serta hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Jika seorang lelaki sudah bosan, perempuan itu akan dicampakkan begitu saja tanpa nilai.
Pernikahan Tanpa Batas
Praktik poligami tanpa batas juga marak terjadi di masa jahiliyah. Para lelaki bisa menikahi banyak perempuan tanpa aturan jumlah dan tanpa memikirkan keadilan. Perempuan tidak memiliki suara, apalagi perlindungan hukum.
Islam Datang Membawa Perubahan
Di tengah kegelapan ini, datanglah Islam sebagai cahaya peradaban. Islam mengangkat derajat perempuan, melarang tradisi mengubur bayi perempuan, menetapkan hak-hak dalam pernikahan, serta memberikan warisan bagi kaum wanita. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa sebaik-baik laki-laki adalah mereka yang memperlakukan istrinya dengan baik.
Sejarawan Islam menilai, perubahan besar ini adalah revolusi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jazirah Arab. Dari status sebagai “barang warisan”, perempuan diangkat menjadi “mitra kehidupan” yang memiliki hak, kewajiban, dan kehormatan setara sebagai manusia.
Pesan Moral
Kisah kelam ini menjadi pelajaran berharga. Perceraian memang dibolehkan dalam Islam, tetapi tetap menjadi perkara yang paling dibenci Allah. Rumah tangga harus diupayakan untuk dipertahankan dengan komunikasi dan penyelesaian masalah yang bijak. Jangan sampai umat Islam kembali ke “miniatur jahiliyah modern”, di mana perempuan kehilangan penghargaan dan martabatnya.
(***)
#Islami #Religi #ZamanJahiliyah