Breaking News

Kuasa Hukum Eks Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Nilai Tuntutan Mati Tidak Proporsional, Minta Hakim Pertimbangkan Kembali

Ricky Hadiputra Salah Seorang Kuasa Hukum AKP Dadang (Dok: Ist)

D'On, Padang
– Sidang lanjutan kasus penembakan yang menewaskan Kasatreskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar, kembali digelar di Pengadilan Negeri Padang, Rabu (27/8/2025). Perkara yang melibatkan terdakwa AKP (nonaktif) Dadang Iskandar ini kian menyedot perhatian publik, setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara tegas menuntut hukuman mati.

Namun, tim kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatan. Mereka menilai tuntutan tersebut bukan hanya terlalu berat, tetapi juga tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan nilai kemanusiaan dalam hukum Indonesia.

"Hak Hidup Dijamin Konstitusi"

Ricky Hadiputra, pengacara dari Kantor Hukum Hendri Syahputra & Partners, mewakili tim kuasa hukum Dadang, dengan lantang menyampaikan bahwa hukuman mati tidak mencerminkan rasa keadilan.

“Kami menilai tuntutan hukuman mati terhadap klien kami terlalu berat dan tidak proporsional. Hak hidup adalah hak dasar setiap manusia yang dijamin konstitusi. Apalagi terdapat faktor-faktor meringankan yang seharusnya dipertimbangkan majelis hakim,” ujar Ricky kepada dirgantaraonline.co.id, melalui pesan WhatsApp, Rabu (27/8/2025) malam.

Ia menekankan bahwa meskipun perbuatan Dadang memang tidak dapat dibenarkan, namun masih ada ruang untuk memberikan putusan yang lebih manusiawi. Menurutnya, vonis pidana penjara seumur hidup adalah opsi yang jauh lebih adil ketimbang eksekusi mati.

Faktor Psikologis dan Konflik Internal

Kuasa hukum juga membeberkan sisi lain yang selama ini belum banyak terungkap ke publik. Mereka menilai bahwa aksi penembakan yang dilakukan Dadang tidak semata-mata lahir dari niat jahat, melainkan dipengaruhi tekanan psikologis dan konflik internal yang dialaminya.

“Peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi batin dan tekanan yang dihadapi terdakwa. Bukan berarti hal itu membenarkan perbuatannya, tetapi ini harus dipahami sebagai latar belakang yang meringankan,” jelas Ricky.

Dalam pandangan mereka, hukum seharusnya tidak hanya menekankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan konteks kemanusiaan. Apalagi, Dadang disebut telah menunjukkan itikad baik dengan menyerahkan diri setelah kejadian, sebuah sikap kooperatif yang semestinya menjadi bahan pertimbangan.

Jaksa Anggap Perbuatan Tercela

Sebelumnya, JPU menuntut Dadang dengan hukuman mati berdasarkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Jaksa menilai, tindakan terdakwa tidak hanya merenggut nyawa seorang perwira polisi, tetapi juga telah mencoreng institusi kepolisian sekaligus menimbulkan keresahan luas di masyarakat.

“Tindakan terdakwa mencederai marwah kepolisian dan meninggalkan luka mendalam, baik bagi keluarga korban maupun masyarakat luas. Karena itu, hukuman yang setimpal adalah hukuman mati,” tegas JPU dalam tuntutannya pekan lalu.

Pertarungan Argumen di Meja Hijau

Kasus ini menjadi salah satu perkara pidana paling menyita perhatian di Sumatera Barat dalam beberapa tahun terakhir. Publik menilai, keputusan hakim nantinya bukan hanya soal vonis terhadap seorang terdakwa, tetapi juga akan menjadi preseden bagi penegakan hukum dan citra kepolisian.

Sidang berikutnya dijadwalkan pada pekan depan dengan agenda pledoi (nota pembelaan) dari kuasa hukum Dadang. Inilah kesempatan terakhir bagi tim pengacara untuk meyakinkan majelis hakim agar tidak mengikuti tuntutan mati dari JPU.

Di sisi lain, keluarga korban dan masyarakat luas menanti apakah majelis hakim akan berdiri tegak bersama tuntutan jaksa, atau membuka ruang pertimbangan yang lebih manusiawi sebagaimana diminta tim kuasa hukum.

Kasus ini tidak hanya mempertaruhkan nasib seorang perwira polisi nonaktif, tetapi juga akan menguji sejauh mana sistem peradilan Indonesia mampu menyeimbangkan antara kepastian hukum, rasa keadilan, dan nilai kemanusiaan.

(Mond)

#AKPDadang #PolisiTembakPolisi #Hukum #Polri