KPK Tegaskan: Tidak Semua Gratifikasi Haram, Asalkan Tak Berkaitan dengan Jabatan
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
D'On, Jakarta – Isu gratifikasi selama ini kerap dipandang seragam: sesuatu yang haram dan harus dihindari sepenuhnya oleh penyelenggara negara. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluruskan persepsi tersebut. Deputi Bidang Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menegaskan bahwa tidak semua bentuk hadiah atau pemberian otomatis masuk kategori gratifikasi haram.
“Gratifikasi itu sebenarnya banyak yang halal dibanding yang haram. Yang haram hanya satu, yaitu bila hadiah atau pemberian itu ada kaitannya dengan jabatan atau kewenangan kita sebagai aparatur sipil negara maupun penyelenggara negara,” ujar Wawan dalam webinar bertajuk “Integritas & Antikorupsi: Dari Kesadaran Menjadi Kebiasaan” yang digelar di Kementerian Hukum (Kemenkum), Jakarta Selatan, Selasa (19/8/2025).
Mana yang Halal, Mana yang Haram?
Wawan memberi contoh sederhana. Jika seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) menerima uang saku dari orang tua, atau mendapat bekal dari kakak, maka itu sah-sah saja dan tidak termasuk gratifikasi haram. “Kalau orang tua kasih uang, ya kita terima. Kalau kakak memberi bekal, ya kita terima. Itu tidak masalah, karena sama sekali tidak berkaitan dengan jabatan,” jelasnya.
Sebaliknya, gratifikasi menjadi haram bila ada motif kepentingan yang berhubungan dengan jabatan. Misalnya, seorang pejabat menerima hadiah dari pihak rekanan yang sedang mengikuti tender proyek di instansi terkait. Situasi seperti ini dianggap berbahaya karena berpotensi memengaruhi objektivitas dalam mengambil keputusan.
“Hadiah atau pemberian dari orang yang memiliki kepentingan dengan tugas dan wewenang kita sebagai pegawai negeri, itulah yang harus ditolak. Itu yang disebut gratifikasi haram,” tegas Wawan.
ASN Sudah Digaji, Jangan Cari Tambahan dari Pemberian
Lebih jauh, Wawan menekankan bahwa pegawai negeri maupun pejabat publik seharusnya tidak lagi bergantung pada hadiah dari pihak luar. Negara sudah menggaji dan memberikan tunjangan untuk menjalankan tugas secara profesional.
“Sebagai pegawai negeri, kita sudah digaji dan diberi tunjangan oleh negara. Maka semestinya kita cukup. Kalau mau memberi atau menerima hadiah, lakukanlah dalam konteks hubungan sosial yang murni, bukan karena jabatan,” tambahnya.
Pernyataan ini sekaligus mengingatkan bahwa budaya saling memberi memang masih kental dalam masyarakat Indonesia. Namun, batas tipis antara ‘pemberian wajar’ dan ‘gratifikasi haram’ harus benar-benar dipahami, agar tidak menjerumuskan penyelenggara negara pada praktik korupsi.
Kasus Aktual: Gratifikasi Rp17 Miliar di MPR RI
Pernyataan KPK ini muncul di tengah sorotan publik atas kasus gratifikasi yang tengah ditangani lembaga antirasuah tersebut. Salah satunya melibatkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR RI periode 2019–2021, Ma’ruf Cahyono, yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ma’ruf diduga menerima gratifikasi senilai total Rp17 miliar yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di MPR RI. KPK menduga, pemberian tersebut bukan sekadar hadiah tanpa maksud, melainkan berkaitan langsung dengan jabatannya sebagai pejabat tinggi negara.
Sejak 10 Juni 2025 lalu, Ma’ruf juga dicegah bepergian ke luar negeri. Pencegahan itu dilakukan agar penyidik bisa terus meminta keterangan darinya tanpa khawatir yang bersangkutan melarikan diri.
Mengapa Pemahaman Gratifikasi Penting?
Kasus-kasus semacam ini menunjukkan bahwa masyarakat, termasuk penyelenggara negara, perlu memahami dengan jelas batasan gratifikasi. KPK menegaskan, edukasi ini bukan sekadar aturan hukum, tetapi juga bagian dari membangun integritas pejabat publik.
“Integritas itu harus dimulai dari kesadaran, kemudian menjadi kebiasaan. Kalau sejak awal kita sadar bahwa gratifikasi berkaitan jabatan itu haram, maka menolak akan menjadi kebiasaan yang melekat,” ungkap Wawan.
Menurutnya, penolakan gratifikasi harus dilihat sebagai bentuk menjaga martabat diri dan lembaga, bukan sekadar mematuhi aturan KPK.
Catatan Akhir
Pernyataan KPK ini menjadi pengingat penting: tidak semua pemberian otomatis salah. Hadiah yang murni lahir dari hubungan keluarga atau persahabatan tanpa kaitan dengan jabatan masih diperbolehkan. Namun, begitu pemberian itu disertai kepentingan atau harapan timbal balik terhadap jabatan penerima, maka di situlah jebakan gratifikasi haram terjadi.
Dengan pemahaman yang jelas, diharapkan para penyelenggara negara dapat lebih berhati-hati, sementara masyarakat pun bisa lebih bijak dalam memberikan hadiah, agar niat baik tidak berubah menjadi persoalan hukum.
(Mond)
#KPK #Gratifikasi