Dugaan Korupsi CSR Bank Indonesia: Dua Anggota DPR Resmi Jadi Tersangka, KPK Dalami Peran Legislator dan Lembaga Keuangan Negara
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggebrak dunia politik dengan mengumumkan penetapan dua orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI). Skandal ini menyoroti aliran dana CSR yang seharusnya digunakan untuk kegiatan sosial, namun justru diduga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Tersangka dari Parlemen, Identitas Masih Disembunyikan
Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (6/8), Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa dua legislator telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia belum membeberkan secara terbuka identitas keduanya, dengan alasan masih dalam proses penyidikan lebih lanjut.
“Sudah ada dua tersangka,” ungkap Asep kepada wartawan.
“Iya, dari kalangan legislator,” tambahnya menegaskan.
Sinyalemen itu langsung mengarah kepada dua nama yang sebelumnya telah diperiksa KPK dalam kapasitas sebagai saksi, yakni Heri Gunawan, anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Gerindra, dan Satori, anggota DPR dari Partai NasDem. Keduanya sempat menjalani pemeriksaan intensif terkait aliran dana CSR Bank Indonesia.
Bukan Hanya Legislator, KPK Juga Bidik Internal Bank Indonesia
Dalam pernyataan yang sama, Asep Guntur menegaskan bahwa penyidikan KPK tidak hanya berhenti pada pihak legislator, tetapi juga menyentuh pihak internal Bank Indonesia.
“Kedua belah pihak, baik dari BI maupun dari legislator, sedang kita dalami. Yang sudah firm baru dua tersangka itu. Yang lainnya akan kita perdalam lagi,” tegasnya.
Ini menunjukkan bahwa kasus dugaan korupsi dana CSR BI bukanlah perkara tunggal. Ia melibatkan kolaborasi antara oknum legislatif dan lembaga keuangan negara dalam pengelolaan dana sosial yang semestinya digunakan untuk kepentingan publik.
Skema Penyelewengan: Dana CSR Mengalir ke Yayasan ‘Tidak Proper’
Wakil KPK sebelumnya, Rudi Setiawan, telah mengungkapkan bagaimana dana CSR Bank Indonesia disalurkan ke pihak-pihak yang tidak seharusnya menerima. Dalam keterangannya pada Selasa (17/12/2024), Rudi menyebut bahwa sebagian dana CSR yang dikelola Bank Indonesia dialokasikan ke yayasan-yayasan yang terindikasi tidak layak.
“Jadi BI itu punya dana CSR, kemudian beberapa persen dari dana itu diberikan ke pihak yang tidak proper. Kurang lebih seperti itu,” kata Rudi.
“Ada yayasan-yayasan yang kami duga tidak tepat untuk diberikan (dana CSR),” lanjutnya.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar: yayasan apa yang dimaksud? Apakah ada keterkaitan langsung antara yayasan tersebut dengan para anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka? Apakah dana CSR tersebut digunakan sebagai alat barter untuk kepentingan legislasi, pembahasan anggaran, atau hal lain yang menguntungkan pihak tertentu?
Pihak Bank Indonesia: Kooperatif, tapi Di Bawah Bayang-Bayang
Menanggapi perkembangan penyidikan ini, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan bahwa pihaknya menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan telah menunjukkan sikap kooperatif terhadap KPK. Perry, yang kembali dipercaya sebagai gubernur BI setelah menjabat sejak 2018, menegaskan bahwa institusinya siap memberikan keterangan serta dokumen yang diperlukan.
“Kami telah tunjukkan sikap kooperatif selama ini, baik dalam bentuk pemberian keterangan oleh pejabat kami maupun penyampaian dokumen-dokumen yang diminta,” kata Perry dalam keterangannya, Rabu (18/12/2024).
Perry juga menyebut bahwa dugaan penyalahgunaan dana CSR itu terjadi pada tahun 2023, saat dirinya masih menjabat sebagai pimpinan tertinggi lembaga tersebut.
Pernyataan Perry seolah ingin memisahkan tanggung jawab kelembagaan dari tindakan oknum. Namun, publik tetap menyoroti bagaimana tata kelola dana CSR di BI selama ini berjalan, dan sejauh mana pengawasan internal berfungsi mencegah penyalahgunaan.
DPR, Dana CSR, dan Bahaya Simbiosis Mutualisme dalam Sistem Negara
Komisi XI DPR RI merupakan mitra kerja Bank Indonesia dalam berbagai pembahasan penting seperti kebijakan moneter, pengawasan keuangan, hingga alokasi anggaran. Dugaan keterlibatan anggotanya dalam penyelewengan dana CSR membuka potret kelam simbiosis antara lembaga legislatif dan lembaga keuangan negara.
Dana CSR, yang seharusnya menjadi bentuk tanggung jawab sosial korporasi, justru ditengarai menjadi celah baru dalam praktik korupsi. Jika benar digunakan untuk kepentingan yayasan tertentu yang menjadi ‘kendaraan’ bagi legislator, maka kasus ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana kebijakan dan program sosial bisa dengan mudah dikapitalisasi secara politis.
KPK Masih Mengembangkan Kasus
Hingga saat ini, KPK belum membeberkan lebih jauh siapa saja pihak yang terlibat, termasuk apakah akan ada penetapan tersangka baru. Namun satu hal yang pasti, penyidikan terus berlanjut dan publik berharap agar kasus ini tidak berhenti pada penetapan dua nama semata.
KPK diminta untuk mengungkap seluruh jejaring yang terlibat dalam dugaan praktik korupsi berjubah CSR ini dari legislatif hingga institusi keuangan negara agar bisa dibongkar tuntas dan menjadi peringatan keras bagi para pemegang kekuasaan.
Catatan Redaksi:
Dana CSR bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah janji institusi kepada masyarakat bahwa mereka peduli, hadir, dan bertanggung jawab. Saat janji itu dikorupsi oleh mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat dan pengelola keuangan negara, maka yang dikorbankan bukan hanya uang, tetapi juga kepercayaan.
(K)
#KPK #KorupsiCSRBankIndonesia #DPR #BankIndonesia