Breaking News

Benturan di Batang Timah: Warga Kapundung Bawah Lawan Tambang Galian C CV JJS yang Ancam Kehidupan

Warga Kapundung Bawah bersama aparat kepolisian menghadang alat berat milik perusahaan tambang yang hendak memasuki lokasi rencana galian C di tepi Sungai Batang Timah, Nagari Bandua Balai. (ROHIMUDDIN/PADEK)

D'On, Pasaman Barat
Suasana teduh di tepi Sungai Batang Timah, Nagari Bandua Balai, Kecamatan Kinali, Pasaman Barat, berubah drastis sejak April 2025. Sungai yang selama puluhan tahun menjadi denyut nadi kehidupan petani sawit, kini berada di ambang ancaman. Bukan oleh banjir atau bencana alam, melainkan oleh masuknya rencana tambang galian C yang dikerjakan oleh sebuah perusahaan bernama CV JJS.

Bagi warga Kapundung Bawah, Sungai Batang Timah bukan sekadar aliran air. Ia adalah sumber kehidupan: penyedia irigasi untuk sawit, penyangga ekosistem, sekaligus benteng terakhir yang melindungi kampung dari bencana abrasi. Tak heran, begitu kabar rencana tambang menyeruak, gelombang penolakan masyarakat segera pecah.

Awal Keresahan: Surat yang Diabaikan, Alat Berat yang Masuk

Ketegangan pertama kali mencuat pada 23 Mei 2025, ketika perwakilan petani Kapundung Bawah, Joni, Arialdi, dan Saparudin mengirimkan surat resmi kepada Bupati Pasaman Barat. Surat itu berisi penolakan keras atas rencana tambang CV JJS.

Namun, harapan warga untuk mendapat perlindungan dari pemerintah daerah langsung pupus. Keesokan harinya, 24 Mei 2025, alat berat perusahaan justru masuk ke lokasi. Tak ada dialog, tak ada kesepakatan. “Kami sudah menolak, tapi perusahaan bertindak seolah kampung ini tanah kosong tanpa penghuni,” ujar Joni.

Aksi Spontan: Warga Hadang Alat Berat

Situasi memuncak pada 16 Juni 2025. Puluhan warga Kapundung Bawah menutup jalan Padang Kuranji–Kapundung. Aksi spontan itu berhasil menghentikan laju ekskavator yang hendak menuju lokasi tambang. Namun, bagi warga, kemenangan itu hanya sementara.

“Kalau tambang ini jalan, kebun kami habis, sungai rusak, dan kampung bisa hilang tergerus banjir,” kata Joni saat ditemui di lokasi, Selasa (19/8), bersama warga lain, aparat kepolisian, serta niniak mamak.

Musyawarah nagari sebelumnya yang dihadiri wali nagari, niniak mamak, tokoh pemuda, dan Bamus Nagari telah menghasilkan keputusan bulat: menolak tambang. Tetapi, suara masyarakat seolah tidak cukup kuat dibandingkan kepentingan bisnis.

Lobi Politik: DPRD Pasbar Turun Tangan

Merasa suara mereka diabaikan, warga membawa perlawanan ke panggung politik. Pada 26 Juni 2025, mereka hadir dalam rapat gabungan komisi DPRD Pasaman Barat.

Hasilnya tegas: DPRD meminta Pemerintah Provinsi Sumbar meninjau ulang izin tambang CV JJS. Keputusan ini menambah amunisi moral bagi masyarakat, meski proses birokrasi diyakini tak akan berjalan cepat.

“Ini bukan sekadar soal tambang, tapi soal keberlangsungan hidup masyarakat. Sawit adalah sumber ekonomi utama. Kalau rusak, warga kehilangan segalanya,” tegas Joni di hadapan anggota dewan.

Ancaman Nyata: Sungai Bisa Pindah Jalur, Kampung Terancam Hilang

Penolakan warga bukan tanpa alasan. Topografi Batang Timah sangat rawan. Dasar sungai terdiri dari material lunak seperti pasir dan sirtu. Jika tambang dibuka, kerusakan dipastikan tak terhindarkan.

Para warga mengingatkan bahwa air banjir mudah berpindah jalur, menyeret tanah, bahkan berpotensi menghapus dua kampung sekaligus: Palang dan Gunung Sangkua.

“Kesepakatan dengan warga tidak pernah ada. Kalau ada yang mengaku sudah dapat persetujuan, kami nyatakan itu palsu,” kata Joni lantang.

Surat Terakhir: Harapan pada Gubernur

Seiring waktu, kecemasan warga semakin besar. Hingga pertengahan Juli 2025, mereka belum mendapat solusi. Perusahaan tetap bergerak, pemerintah daerah terkesan pasif, sementara suara rakyat terombang-ambing.

Puncaknya, pada 20 Juli 2025, Arialdi dan Saparudin mengirim surat resmi ke Gubernur Sumatera Barat. Mereka meminta agar izin tambang segera dicabut sebelum Batang Timah benar-benar hancur.

“Selama ini sawit jadi satu-satunya sumber ekonomi kami. Kalau tambang dipaksakan, yang ada hanya kehancuran. Kami mohon pemerintah berpihak pada rakyat,” tulis mereka.

Suara yang Belum Didengar

Hingga berita ini diterbitkan, CV JJS bungkam. Tim Dirgantaraonline yang berusaha meminta keterangan tak berhasil menemui pihak perusahaan. Kantor mereka tertutup rapat, sementara di lokasi tambang tak ada perwakilan yang bersedia memberi komentar.

Sementara itu, warga Kapundung Bawah masih berjaga. Sungai Batang Timah tetap mengalir, tapi dengan iringan kecemasan yang kian deras.

Kini, bola panas berada di tangan Gubernur Sumbar: apakah akan mendengar jeritan rakyat kecil, atau tetap membiarkan logika investasi menggilas ekologi dan masa depan kampung di tepian Batang Timah?

Catatan Redaksi:
Kisah penolakan tambang galian C di Batang Timah bukan hanya soal konflik agraria. Ia adalah potret bagaimana suara rakyat kecil sering dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Pertarungan antara sawit dan tambang ini akan menjadi ujian besar bagi pemerintah daerah dan provinsi: berpihak pada rakyat atau pada modal.

(Mond)

#GalianC #Tambang #PasamanBarat