Tangis dan Sujud Istri-Ibu Polisi Gugur di Sidang Kopda B: “Hukum Mati Pelaku!”
D'On, Palembang – Isak tangis dan air mata duka menyelimuti ruang sidang Pengadilan Militer I-04 Palembang, Senin (30/6/2025). Di tengah lantunan doa yang lirih dan suasana sidang yang penuh ketegangan, tiga perempuan dua istri dan satu ibu dari anggota polisi yang gugur bersujud di lantai persidangan. Mereka memohon keadilan atas kematian suami dan anak mereka yang tewas dalam penggerebekan arena sabung ayam di Way Kanan, Lampung.
Mereka bukan hanya datang sebagai pelapor. Mereka hadir sebagai para ibu bangsa yang kehilangan tulang punggung keluarga. Tiga korban yang gugur dalam tugas negara adalah AKP Anumerta Lusiyanto, Aiptu Anumerta Petrus Aprianto, dan Briptu Anumerta M Ghalib Surya Ganta. Ketiganya ditembak mati oleh Kopral Dua (Kopda) B, seorang anggota TNI aktif, yang kini duduk di kursi terdakwa.
Sujud Memohon Keadilan di Hadapan Hakim
Tangis pecah ketika majelis hakim memberikan waktu kepada keluarga korban untuk menyampaikan kesaksian tambahan. Dengan suara gemetar dan napas tertahan, salah satu istri korban berkata:
“Perbuatan terdakwa telah menghancurkan hidup kami. Kami tidak hanya kehilangan suami, tapi juga ayah dari anak-anak kami, harapan masa depan kami. Hidup kami runtuh.”
Ucapan itu menjadi awal dari pemandangan memilukan: ketiga perempuan itu bersujud di hadapan majelis hakim. Tangan mereka bergetar, mata mereka bengkak karena menangis, dan suara mereka patah-patah menyampaikan satu permohonan yang sama: hukuman mati bagi terdakwa.
Kuasa Hukum: “Mereka Membawa Luka dan Keberanian”
Putri Maya Rumanti, kuasa hukum keluarga korban, menegaskan bahwa desakan hukuman mati bukan semata luapan emosi, melainkan bentuk perjuangan hukum untuk menegakkan keadilan atas gugurnya aparat negara.
“Klien kami tidak datang hanya dengan air mata. Mereka membawa luka, tapi juga keberanian untuk berdiri di ruang sidang, menuntut keadilan yang setimpal. Ketiganya adalah korban dalam tugas resmi, gugur karena melaksanakan perintah negara.”
Ia menyebut bahwa ini bukan perkara pribadi antara prajurit TNI dan anggota Polri, melainkan soal prinsip supremasi hukum dan penghormatan terhadap pengorbanan aparat.
Bantahan atas Tuduhan Suap
Dalam persidangan, salah satu isu yang mencuat adalah dugaan bahwa almarhum AKP Lusiyanto menerima uang dari praktik sabung ayam ilegal yang digerebek. Namun, tuduhan ini dibantah keras oleh istrinya.
“Suami saya tidak pernah menerima setoran apa pun dari kegiatan ilegal. Pernah memang terdakwa memberikan uang Rp 1 juta, tapi itu bukan suap. Saat itu kami sedang ada hajatan keluarga, dan ia meminta agar jadwal sosialisasi program ketahanan pangan diundur. Itu dalam konteks resmi, bukan untuk suap,” tegasnya.
Ia menambahkan, hubungan almarhum dengan terdakwa tidak lebih dari sekadar interaksi formal dalam kegiatan dinas.
Putusan Hakim Ditunggu sebagai Titik Balik Keadilan
Perkara ini tidak hanya menyita perhatian publik, tetapi juga menantang integritas sistem peradilan militer. Bagaimana seorang prajurit aktif bisa menembak mati tiga anggota Polri dalam operasi resmi, menjadi pertanyaan besar yang menuntut jawaban dan ketegasan hukum.
Sidang berikutnya akan digelar dalam waktu dekat. Keputusan majelis hakim kini menjadi tumpuan harapan keluarga korban dan masyarakat luas. Apakah keadilan akan berpihak pada mereka yang kehilangan, atau tersandera dalam celah institusi?
Bagi tiga perempuan yang hari itu bersujud di ruang sidang, mereka tak hanya memohon untuk hukuman, tapi untuk harga diri yang telah direnggut bersama nyawa orang tercinta.
(Mond)
#Hukum #OknumTNITembakPolisi