Lelucon Prosedural Bank Nagari: OJK Terlalu Umum, Kejati dan BPK Temukan Bau Busuk
William Nursal Devarco (Pax Alle)
Dirgantaraonline - Dalam dunia keuangan yang seharusnya presisi dan transparan, publik dikejutkan dengan drama hapus buku kredit Bank Nagari. Tindakan ini secara formal dinyatakan halal oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun yang menjadi soal bukan kehalalannya melainkan proses yang janggal, seolah dipoles untuk lolos dari pengawasan.
OJK dalam penilaian mereka memang tidak melihat adanya kesalahan secara prosedural. Tapi itu justru menjadi titik persoalan: Apakah OJK hanya menelan laporan mentah tanpa verifikasi ulang? Jika benar, maka publik patut mempertanyakan bagaimana pola kerja OJK dalam mengawasi industri perbankan. Apakah tugasnya hanya membaca dan menyetujui tanpa menganalisis ulang?
Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dan BPK justru mengambil lensa yang berbeda. Mereka menelisik detail demi detail, menemukan ketidaksempurnaan dalam prosesi hapus buku yang dilakukan Bank Nagari. Ini bukan cuma soal prosedur teknis, tapi soal integritas dan potensi penyimpangan pidana.
Poin-poin yang hilang dari laporan internal Bank Nagari bukan sekadar kekhilafan, tapi indikasi kuat adanya informasi yang sengaja disamarkan. Bila tidak janggal, tentu tidak akan menjadi perhatian serius penegak hukum. Apalagi, dari sekian banyak portofolio kredit yang dilaporkan bermasalah, hanya segelintir yang diajukan ke lelang. Kenapa tidak semuanya? Siapa yang diselamatkan?
Potensi tindak pidana korupsi (tipikor) menguap dari celah-celah prosedur yang dilanggar secara sistematis. Kejanggalan itulah pintu pembuka yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Bank Nagari juga dinilai tidak jujur dan tidak konsisten dalam narasi publiknya. Kepada publik, mereka merilis capaian dan kinerja yang “luar biasa”. Namun di hadapan DPRD Sumbar, laporan berbeda muncul: penuh kerugian dan kegagalan. Ini bukan lagi salah komunikasi, tapi indikasi adanya dua wajah yang bertolak belakang. Ironisnya, wajah ganda ini dibiarkan begitu saja.
Lebih jauh, dalam praktik pemberian kredit, standar ganda pun diterapkan. Untuk nasabah umum, prosedurnya ketat. Tapi untuk pihak-pihak tertentu, aturan bisa dinegosiasikan, bahkan “diimprovisasi” demi mengejar target. Ini membuka ruang spekulasi dan memperbesar celah korupsi. Aksi tutup mata dan telinga jadi kunci keberhasilan praktik menyimpang ini.
Yang paling mencemaskan: jika pengawasan publik longgar, kejahatan akan menjamur. Tapi sebaliknya, jika sorotan tajam dan konsisten dijaga, peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang akan menyempit.
Kita tidak bisa bergantung hanya pada laporan sepihak, apalagi dari pihak yang sedang dalam sorotan. OJK harus lebih dari sekadar lembaga pemberi stempel prosedural. Ia harus jadi benteng integritas perbankan. Karena jika tidak, kita hanya akan menyaksikan lelucon prosedural yang berulang lelucon yang biayanya ditanggung publik.
“Mereka piawai membuat lelucon. Tapi publik tidak sedang ingin tertawa.”
Penulis: William Nursal Devarco (Pax Alle)
#Opini #BankNagari #OJK