Breaking News

Setelah Pedagang Online, Kini Pemerintah Bidik Pajak dari Media Sosial dan Data Digital

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu. Foto: Kemenkeu RI

D'On, Jakarta
– Setelah resmi mengenakan pajak terhadap pedagang online, pemerintah kini tengah menjajaki sumber penerimaan baru yang lebih futuristik: media sosial dan data digital. Wacana ini menjadi bagian dari strategi besar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam memperluas basis perpajakan nasional di tengah tekanan fiskal yang terus meningkat.

Hal ini diungkapkan langsung oleh Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI. Ia menyebut bahwa data analitik serta media sosial kini tidak hanya menjadi ruang sosial atau alat pemasaran digital, tapi juga berpotensi besar menjadi tambang penerimaan negara.

“Segi administrasi itu pertama penggalian potensi (pajak) itu melalui data analitik maupun media sosial,” ungkap Anggito saat menyampaikan paparan di hadapan anggota dewan.

Meskipun belum menjelaskan secara rinci mekanisme atau bentuk pajak yang akan dikenakan, Anggito menegaskan bahwa pengembangan kebijakan ini masuk dalam prioritas belanja negara tahun depan. Pemerintah bahkan telah menyiapkan anggaran senilai Rp 1,99 triliun untuk mendukung program ini di tahun 2025.

Sementara itu, untuk tahun 2026, Kemenkeu telah mengusulkan pagu anggaran sebesar Rp 52,017 triliun. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengoptimalkan teknologi digital dan media sosial sebagai bagian dari sistem perpajakan modern.

Mengintip Potensi Pajak dari Medsos dan Data Digital

Langkah ini dianggap sejalan dengan tren global di mana aktivitas ekonomi digital, termasuk media sosial, telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Influencer, kreator konten, hingga pemilik akun yang memonetisasi kanal media sosial mereka diyakini memiliki potensi penghasilan besar yang selama ini belum tergarap secara maksimal dalam sistem perpajakan nasional.

Selain itu, penggunaan big data dan data analitik juga menjadi kunci penting dalam mendeteksi potensi pajak tersembunyi yang selama ini luput dari radar Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Lewat kecanggihan teknologi ini, pemerintah berambisi membangun sistem pengawasan dan pemungutan pajak yang lebih canggih, presisi, dan menyeluruh.

Langkah Lanjutan Setelah Pajaki Pedagang Online

Sebelum menyasar media sosial dan data digital, Kemenkeu telah lebih dahulu mengatur soal pungutan pajak dari pedagang online melalui e-commerce. Aturan ini termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang resmi berlaku mulai Senin, 14 Juli 2025.

Dalam beleid tersebut, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau e-commerce—seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dan lainnya—ditunjuk sebagai pihak yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang berdagang di platform mereka.

Besaran pajak yang dikenakan adalah 0,5 persen dari peredaran bruto yang tercantum dalam dokumen tagihan. Ini berarti, setiap transaksi yang terjadi akan langsung dikenai pungutan pajak sebelum hasil penjualan sampai ke tangan pedagang.

Mengejar Target Rasio Penerimaan Negara

Langkah-langkah progresif ini tidak lepas dari ambisi pemerintah untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tahun depan ditargetkan di kisaran 11,71 persen hingga 12,22 persen.

Dari sisi perpajakan, rasio perpajakan nasional ditargetkan mencapai 10,08 persen hingga 10,45 persen, sedangkan rasio penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dibidik pada kisaran 1,63 persen hingga 1,76 persen.

Dengan potensi besar ekonomi digital—baik dari e-commerce maupun media sosial—pemerintah berharap mampu mengisi celah penerimaan yang selama ini belum optimal.

Tantangan dan Pro Kontra di Depan Mata

Meski ambisius, wacana pemajakan terhadap media sosial dan data digital tentu tak lepas dari tantangan. Salah satu pertanyaan besar adalah bagaimana mekanisme pemungutan pajaknya dilakukan secara adil dan efisien, terutama terhadap kreator konten yang penghasilannya fluktuatif dan sering kali lintas negara.

Belum lagi resistensi dari pelaku usaha digital dan masyarakat pengguna media sosial yang mungkin memandang kebijakan ini sebagai beban tambahan di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Namun, di sisi lain, langkah ini dianggap sebagai bentuk keadilan fiskal, di mana setiap pelaku ekonomi digital, tak terkecuali selebgram, YouTuber, TikToker, hingga penjual konten digital, turut berkontribusi terhadap pembangunan negara.

Menuju Era Pajak Digital

Pemerintah tampaknya serius menyiapkan diri menghadapi masa depan perpajakan digital. Dimulai dari pedagang online, kini ekspansinya mengarah ke media sosial dan data digital. Dengan dukungan teknologi dan alokasi anggaran yang signifikan, Indonesia bersiap memasuki babak baru di mana ekonomi digital bukan hanya ladang cuan, tetapi juga sumber pendapatan negara yang sah dan terukur.

Apakah ini akan menjadi lompatan besar atau justru memunculkan gelombang protes dari pelaku digital? Jawabannya masih akan terus bergulir, seiring pemerintah mematangkan konsep dan masyarakat menanti kejelasan implementasinya.

(Mond)

#Pajak #Nasional #Wamenkeu