Breaking News

RUU KUHAP Usung 3 Jalur Damai Penyelesaian Pidana: Penjara Bukan Lagi Satu-satunya Jalan

Suasana rapat panitia kerja (Panja) RUU KUHAP dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

D'On, Jakarta —
Paradigma penegakan hukum pidana di Indonesia segera memasuki babak baru. Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru saja dirampungkan pembahasannya oleh Komisi III DPR dan pemerintah, memperkenalkan konsep revolusioner: penjara bukan lagi solusi utama.

Dalam draf RUU KUHAP yang telah menyelesaikan 1.531 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), diperkenalkan tiga jalur damai sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana. Jalur ini tak sekadar inovasi prosedural, melainkan mencerminkan perubahan fundamental dalam cara negara memandang keadilan, pelaku, dan korban.

Ketiga jalur damai yang kini diatur secara resmi dalam RUU KUHAP tersebut adalah:

  1. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)
  2. Plea Bargain (Pengakuan Bersalah)
  3. Deferred Prosecution Agreement (Perjanjian Penundaan Penuntutan atau DPA)

1. Restorative Justice: Membangun Pemulihan, Bukan Sekadar Balas Dendam

Restorative justice atau keadilan restoratif bukanlah hal baru. Mekanisme ini sebenarnya sudah diterapkan di berbagai kasus ringan, khususnya yang tidak menimbulkan keresahan publik luas. Namun, RUU KUHAP kini secara resmi memberi tempat bagi pendekatan ini dalam sistem peradilan pidana.

Dalam skema ini, penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan, melalui dialog dan kesepakatan antara pelaku, korban, dan pihak terkait lainnya. Tujuannya? Memulihkan keadaan seperti semula, bukan hanya menghukum.

"Kalau restorative justice itu di luar persidangan. Kasus bisa dihentikan oleh Polri jika sudah ada kesepakatan antara pelaku dan korban," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat bersama Komisi III DPR, Kamis (10/7).

Restorative justice menjadi relevan dalam konteks sosial Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan kekeluargaan. Lebih dari itu, pendekatan ini diyakini dapat mengurangi beban lembaga pemasyarakatan yang selama ini overkapasitas.

2. Plea Bargain: Pengakuan Bersalah yang Dihargai Ringan

Mekanisme plea bargain adalah terobosan yang belum pernah diatur dalam sistem hukum Indonesia sebelumnya. Mekanisme ini memungkinkan terdakwa untuk mengakui kesalahan, memberikan bukti pendukung, dan bersikap kooperatif selama pemeriksaan dengan imbalan pengurangan hukuman.

Berbeda dari restorative justice, plea bargain tetap dilakukan di hadapan hakim, namun prosesnya bisa lebih singkat dan efisien.

“Kalau plea bargain tetap dengan persetujuan hakim. Kalau diterima, maka acaranya berubah dari acara biasa menjadi acara singkat,” kata Eddy Hiariej menjelaskan.

Konsep ini juga memberi insentif pada pelaku untuk tidak berbelit-belit di persidangan. Secara tidak langsung, plea bargain juga berpotensi mengungkap kejahatan yang lebih besar jika terdakwa bersedia bekerja sama dan membuka jaringan.

3. DPA: Jalur Damai untuk Korporasi Pelanggar Hukum

Berbeda dari dua jalur sebelumnya, Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau Perjanjian Penundaan Penuntutan secara khusus ditujukan untuk korporasi yang terlibat dalam tindak pidana. Dalam skema ini, penuntut umum dapat menunda penuntutan apabila korporasi:

  • Mengakui kesalahan,
  • Bersedia mengganti kerugian negara,
  • Memulihkan dampak yang ditimbulkan.

Contoh yang disebut dalam rapat adalah korporasi yang melakukan pencemaran lingkungan. Jika perusahaan tersebut membayar ganti rugi, memulihkan kerusakan, dan menunjukkan itikad baik, maka penuntutan bisa dihentikan melalui perjanjian dengan kejaksaan.

“Ini hanya bisa diterapkan pada korporasi. Bila misalnya ada pencemaran lingkungan dan sudah ada ganti rugi serta pemulihan, maka itu bisa jadi alasan penuntutan tidak dilanjutkan,” jelas Eddy.

Skema ini bisa mempercepat penyelesaian kasus korporasi tanpa proses hukum yang panjang dan berbelit, serta tetap memberi keadilan bagi masyarakat dan negara.

Penjara Jadi Upaya Terakhir: Semangat KUHP Baru

Ketiga jalur damai ini sejalan dengan semangat besar dalam KUHP baru yang telah disahkan dan akan berlaku pada 1 Januari 2026. Dalam KUHP yang baru, pidana penjara bukan lagi satu-satunya sanksi yang bisa dijatuhkan.

“Bahkan di Pasal 53 KUHP dikatakan bahwa hakim wajib menjatuhkan sanksi yang lebih ringan apabila dimungkinkan,” ujar Eddy.

Sanksi alternatif seperti pidana pengawasan atau kerja sosial kini bisa menjadi pilihan utama, terutama jika pelaku menunjukkan penyesalan dan itikad baik.

Hal ini menandai pergeseran filosofi dari sistem hukum pidana yang selama ini terfokus pada penghukuman, menuju sistem yang mengutamakan rehabilitasi, keadilan restoratif, dan efisiensi hukum.

Selangkah Menuju Pengesahan

Proses pembahasan RUU KUHAP kini telah selesai di tingkat Panitia Kerja (Panja). Saat ini, draf tengah melalui tahap penyelarasan oleh Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin).

Setelahnya, RUU ini akan disahkan di tingkat 1 Komisi III, sebelum akhirnya dibawa ke rapat paripurna DPR RI untuk pengesahan resmi.

Dengan demikian, RUU KUHAP bukan hanya pelengkap teknis dari KUHP yang baru, melainkan juga pilar perubahan paradigma penegakan hukum di Indonesia: dari balas dendam ke pemulihan, dari penghukuman ke penyelesaian.

(Mond)

#Hukum #RestorativeJustice #DPR #Nasional