Purnawirawan TNI Ultimatum DPR: Siap Duduki MPR Jika Pemakzulan Gibran Diabaikan
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn), Slamet Soebijanto dalam konferensi pers di Hotel Arion Suites, Kemang, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
D'On, Jakarta – Suasana politik nasional kembali memanas setelah pernyataan keras disampaikan oleh sejumlah purnawirawan tinggi militer. Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Hotel Arion Suites, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (2/7/2025), mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto menyampaikan ancaman terbuka bahwa Forum Purnawirawan TNI siap menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan apabila surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak segera ditanggapi oleh DPR.
“Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, nggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana,” tegas Slamet dalam pernyataannya yang disambut tepuk tangan dari para hadirin.
Slamet mengaku, selama ini pihaknya telah menempuh pendekatan melalui jalur normatif dan konstitusional. Namun, menurutnya, respon dari parlemen justru nihil. Ia menuding DPR sebagai lembaga negara yang tidak menghargai suara dan aspirasi para purnawirawan, yang dianggapnya masih memiliki tanggung jawab moral terhadap nasib bangsa.
“Kami ini bukan orang sembarangan. Kami mantan penjaga negara. Tapi mereka (DPR) memperlakukan kami seperti angin lalu. Itu tidak sopan! Kalau begitu, kita juga akan bertindak dengan cara yang mereka pahami secara jantan!” seru Slamet, penuh emosi.
“Negara di Ujung Tanduk”: Narasi Ancaman dan Seruan Perlawanan
Dalam nada yang penuh keprihatinan, Slamet melukiskan kondisi Indonesia sebagai negara yang sedang berada di "ujung tanduk". Menurutnya, keberadaan Gibran di kursi Wakil Presiden merupakan ancaman serius bagi kelangsungan republik. Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dan tidak tinggal diam.
“Negara kita memang berada di ujung tanduk, masih ada atau hancur. Oleh karena itu, mau nggak mau, kita semua harus bergerak untuk menyelamatkan bangsa ini,” ujarnya penuh tekanan.
Tak hanya itu, Slamet secara eksplisit menyebutkan bahwa kekuatan harus mulai disiapkan jika parlemen tetap bungkam. Meski tidak menjelaskan detail bentuk kekuatan yang dimaksud, narasi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan potensi gerakan massa dalam skala besar yang melibatkan para purnawirawan dan simpatisannya.
Fachrul Razi: Pemakzulan Sesuai Konstitusi
Pernyataan Slamet diamini oleh Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima TNI yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut. Fachrul secara terang-terangan menyebut bahwa dasar hukum untuk pemakzulan Gibran sudah sangat kuat dan sesuai dengan konstitusi.
“Gibran tidak lagi memenuhi syarat sebagai wakil presiden. Itu disebut secara jelas di Pasal 7A UUD 1945. Jadi kalau dari aspek hukum sudah terpenuhi, tinggal sebetulnya DPR mengambil langkah-langkah politik,” tegas Fachrul.
Pasal 7A UUD 1945 yang dimaksud Fachrul memang mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta bila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun Fachrul tidak menjelaskan secara detail aspek mana dari syarat-syarat tersebut yang tidak dipenuhi oleh Gibran. Meski begitu, pernyataan tersebut menegaskan bahwa Forum Purnawirawan TNI memandang posisi Gibran sebagai cacat hukum secara konstitusional.
Krisis Legitimasi dan Jalan Terjal Pemakzulan
Seruan pemakzulan Gibran bukanlah isu baru. Sejak Pilpres 2024 yang penuh kontroversi, sejumlah pihak mempertanyakan legalitas pencalonan Gibran yang kala itu masih berusia di bawah batas minimum usia calon wakil presiden, sebelum Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia melalui putusan kontroversial yang memicu konflik kepentingan karena melibatkan pamannya, Anwar Usman.
Seiring waktu, isu tersebut tidak padam. Justru kini, pasca dilantiknya Gibran sebagai wapres, tekanan dari berbagai elemen masyarakat sipil termasuk dari kalangan purnawirawan TNI kian menguat.
Namun, jalan menuju pemakzulan bukanlah proses singkat. Berdasarkan konstitusi, pemakzulan seorang presiden atau wakil presiden memerlukan proses politik yang panjang, dimulai dari usulan DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, hingga sidang MPR yang memutuskan pemberhentian.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari DPR terkait surat usulan pemakzulan Gibran yang diklaim telah diajukan Forum Purnawirawan TNI.
Penutup: Gelombang Ketegangan yang Belum Reda
Pernyataan-pernyataan keras yang dilontarkan para purnawirawan TNI, terutama ancaman untuk menduduki MPR, menciptakan gelombang ketegangan politik baru di tengah masa awal pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Apakah pernyataan ini hanya akan berakhir sebagai tekanan politik, atau benar-benar akan diwujudkan dalam aksi nyata di jantung parlemen Indonesia? Jawabannya bergantung pada langkah yang akan diambil DPR dalam waktu dekat. Yang pasti, eskalasi dinamika ini menunjukkan bahwa stabilitas politik Indonesia masih jauh dari kata tenang.
(Mond)
#PemakzulanGibran #Nasional #ForumPurnawirawanTNI