Negara Akan Sita Tanah Menganggur Selama 2 Tahun: 48 Persen Lahan Bersertifikat Dikuasai Hanya oleh 60 Keluarga
Ilustrasi tanah kosong. [Shutterstock]
D'On, Jakarta — Peta kepemilikan tanah di Indonesia sedang berada di ambang perubahan besar. Pemerintah kini bersiap untuk mengambil alih jutaan hektare tanah bersertifikat yang terbukti tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut. Kebijakan ini bukan main-main bahkan tanah hak milik sekalipun tidak luput dari penyitaan jika dibiarkan terlantar.
Langkah strategis ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, yang telah resmi diundangkan sejak Februari 2021. Pemerintah menegaskan, ini bukan semata-mata soal pendataan ulang tanah, melainkan tentang menegakkan keadilan agraria yang selama ini timpang.
“Manakala sejak disertifikatkan tanah itu tidak ada aktivitas pembangunan atau ekonomi apa pun dalam dua tahun, maka negara akan ambil alih,” tegas Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, Minggu (13/7/2025).
Tanah Sertifikat Tak Lagi Kebal
Yang paling mencengangkan dari kebijakan ini adalah fakta bahwa tanah bersertifikat resmi pun bisa disita negara, termasuk tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, bahkan Hak Milik pribadi.
Menurut Nusron, ketika sebuah tanah tidak didayagunakan tidak dibangun, tidak ditanami, tidak dimanfaatkan secara ekonomi, dan tidak dipelihara maka secara hukum tanah itu bisa ditetapkan sebagai tanah telantar.
Prosesnya tidak terjadi dalam semalam. Pemerintah akan mengirimkan surat peringatan dan memberikan waktu hingga 587 hari (hampir dua tahun) sebelum tanah tersebut benar-benar dinyatakan kembali ke tangan negara.
Tujuan Pengambilalihan: Bukan untuk Elite, Tapi untuk Rakyat
Pemerintah memastikan, lahan yang diambil alih tidak akan dilempar kembali ke kelompok elite yang selama ini menguasai aset negara secara sepihak. Sebaliknya, tanah-tanah itu akan digunakan untuk kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat, seperti:
- Pembangunan pesantren
- Unit koperasi
- Organisasi masyarakat keagamaan
Namun, pemanfaatannya harus tetap mengacu pada zoning wilayah atau tata ruang (RT/RW). Misalnya, jika tanah berada di zona pertanian atau perkebunan, maka tidak bisa dibangun sekolah atau pemukiman, tapi bisa digunakan untuk usaha pertanian koperasi pesantren.
“Kalau zonasinya pemukiman, bisa dibangun pesantren. Tapi kalau zonasinya pertanian, manfaatkanlah untuk ekonomi berbasis koperasi pesantren,” kata Nusron.
Siapa Pemilik Lahan Sesungguhnya? Fakta Mencengangkan
Dalam penjelasan yang lebih tajam, Nusron membuka sebuah data yang mengagetkan:
“Sebanyak 48 persen dari 55,9 juta hektare lahan yang sudah bersertifikat dan terpetakan hanya dimiliki oleh 60 keluarga di Indonesia.”
Artinya, hampir separuh tanah produktif Indonesia berada di tangan segelintir orang. Ketimpangan ini menjadi alasan kuat di balik kebijakan ini sebuah langkah korektif yang disebut Nusron sebagai “untuk prinsip keadilan, pemerataan, dan kesinambungan ekonomi.”
Data Lahan Telantar dan Potensi Aset Negara
Kementerian ATR/BPN mencatat data yang mencerminkan potensi aset menganggur luar biasa besar:
- Total tanah bersertifikat: 55,9 juta hektare
- Tanah bersertifikat tapi tidak produktif: 1,4 juta hektare
- Tanah belum bersertifikat: 14,4 juta hektare
- Lahan HGU/HGB yang masa berlakunya habis: ± 3 juta hektare
Bayangkan, jika seluruh lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian rakyat, koperasi lokal, pendidikan pesantren, atau reformasi agraria, maka pengangguran dan ketimpangan struktural bisa ditekan secara signifikan.
Dasar Hukum dan Mekanisme Penertiban
Dasar hukum yang digunakan dalam kebijakan ini bersumber dari:
Pasal 7 Ayat (2) PP Nomor 20 Tahun 2021:
"Tanah hak milik menjadi objek penertiban tanah telantar jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara."
Artinya, tidak ada lagi status ‘kebal hukum’ hanya karena punya sertifikat tanah. Tanah adalah sumber daya negara yang harus memberi manfaat bagi rakyat banyak.
Menuju Reforma Agraria yang Lebih Berani
Langkah ini bisa menjadi tonggak penting reforma agraria jilid baru di Indonesia. Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, tidak hanya bicara redistribusi tanah, tapi juga penegakan aturan tegas terhadap pemilik lahan yang menelantarkan aset negara.
Namun, publik tentu akan menunggu konsistensi pelaksanaannya. Beranikah negara benar-benar menindak para pemilik besar yang selama ini menikmati privilege tanpa kewajiban? Dan mampukah kebijakan ini menjadi solusi nyata bagi jutaan rakyat kecil yang belum punya tanah sepetak pun?
Satu hal yang pasti: tanah yang tidur tidak boleh lagi dibiarkan bermimpi sendirian. Negara harus membangunkannya dan memberikannya pada mereka yang benar-benar butuh dan siap bekerja.
(Mond)
#Nasional #NusronWahid #TanahNganggur