Breaking News

Mantan Ketua Tidar Sumbar Mahdiyal Hasan: Budisatrio Djiwandono Sosok Humble yang Layak Pimpin Karang Taruna

Budisatrio Djiwandono Bersama Mahdiyal Hasan (Dok: Ist)

D'On, Padang
– Dalam percaturan organisasi kepemudaan nasional, nama Budisatrio Djiwandono kini mengemuka sebagai sosok yang tengah menuju puncak peran strategis: menjadi Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna (PNKT) periode 2025–2030. Namun lebih dari sekadar pencalonan elite, langkah Budi sapaan akrabnya mendapat sorotan khusus dari Mahdiyal Hasan, seorang advokat muda dan mantan Ketua Tunas Indonesia Raya (TIDAR) Sumatera Barat yang dikenal tajam dalam membaca arah gerakan pemuda.

Dalam pandangan Mahdiyal, sosok Budi adalah anomali yang positif: berasal dari garis keturunan elite nasional, namun memiliki sensitivitas lapangan dan sifat rendah hati yang jarang ditemukan di lingkar kekuasaan.

“Budi itu bukan tipikal politisi menara gading. Ia humble, mau mendengar, dan yang terpenting: punya visi kepemudaan yang tidak berhenti di pidato, tapi diterjemahkan dalam aksi nyata,” ujar Mahdiyal saat ditemui di Padang, pada Minggu (20/7/2025).

Darah Elite, Jiwa Lapangan

Gerardus Budisatrio Djiwandono lahir di Jakarta pada 25 September 1981, dari keluarga dengan rekam jejak panjang dalam ekonomi dan politik nasional. Ayahnya, Sudradjad Djiwandono, pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, dan ibunya adalah kakak kandung Prabowo Subianto Presiden RI terpilih periode 2024–2029.

Namun menurut Mahdiyal, nama besar itu justru menjadi tantangan pribadi bagi Budi untuk membuktikan diri. Alih-alih sekadar menumpang ketenaran keluarga, Budi memilih membangun kredibilitas dari bawah: menempuh pendidikan di Amerika Serikat, bekerja di sektor industri, dan kemudian terjun ke dunia politik sejak 2017 melalui jalur Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI.

Kini, dengan jabatan Ketua Fraksi Partai Gerindra sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, hubungan luar negeri, dan intelijen, Budi dinilai telah memiliki pijakan kokoh untuk memainkan peran strategis di organisasi sosial seperti Karang Taruna.

Kepemimpinan yang Mau Mendengar

Bagi Mahdiyal Hasan, pengalaman bukan satu-satunya alasan mengapa Budi pantas memimpin Karang Taruna. Yang lebih penting adalah gaya kepemimpinannya yang terbuka dan inklusif.

“Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana Budi mendengarkan keluhan kader-kader muda partai di daerah. Ia tidak pernah memotong pembicaraan, dan selalu bertanya balik dengan serius. Sikap itu bukan basa-basi politik, tapi refleksi dari pemimpin yang tahu bahwa perubahan dimulai dengan mendengar,” ujar Mahdiyal.

Menurutnya, organisasi Karang Taruna tidak membutuhkan figur karismatik yang hanya tampil di atas panggung, melainkan pemimpin yang bisa merespons problem nyata pemuda di tingkat desa: minimnya akses kerja, kurangnya pelatihan keterampilan, dan kegamangan dalam menghadapi era digital.

Budi dinilai mampu menyambungkan problematika itu dengan kebijakan konkret, karena ia punya dua modal penting: koneksi pusat dan pemahaman akar rumput.

Lebih dari Sekadar Manuver Politik

Di tengah kecurigaan bahwa langkah Budi ke Karang Taruna hanya bagian dari skenario politik menuju Pilkada atau Pemilu 2029, Mahdiyal memberikan perspektif berbeda. Ia menyebut langkah itu sebagai bagian dari regenerasi politik yang sehat.

“Justru kita butuh orang seperti Budi di Karang Taruna orang yang paham struktur pemerintahan, tahu caranya mencari anggaran, dan bisa menjembatani aspirasi pemuda ke meja pengambil keputusan,” tegas Mahdiyal.

Ia juga menyinggung masa depan Karang Taruna yang selama ini terjebak dalam rutinitas kegiatan seremonial tanpa arah strategis. Jika dipimpin oleh sosok seperti Budi, kata Mahdiyal, organisasi ini bisa menjadi “sekolah politik alternatif” yang mendidik anak muda tentang kewarganegaraan aktif, kolaborasi lintas sektor, dan kepemimpinan berbasis data.

Isu Nyata, Aksi Nyata

Selama ini, Budisatrio dikenal membawa isu-isu yang lekat dengan kebutuhan pemuda masa kini: literasi digital, kewirausahaan sosial, ketahanan pangan lokal, serta penguatan karakter pemuda di era disinformasi. Bahkan menurut Mahdiyal, jauh sebelum isu-isu ini menjadi tren nasional, Budi sudah menyuarakannya di forum-forum internal partai.

“Saya masih ingat ketika Budi berbicara panjang soal pentingnya digitalisasi di tingkat desa, saat sebagian besar elit masih bicara infrastruktur dasar. Ia punya sense masa depan,” kenang Mahdiyal.

Karang Taruna di Simpang Jalan

Kini, seluruh mata tertuju pada Temu Karya Nasional Karang Taruna 2025, forum akbar yang akan menentukan arah organisasi lima tahun ke depan. Dalam konteks ini, kehadiran figur seperti Budisatrio Djiwandono bukan sekadar membawa nama besar, tapi menawarkan paradigma baru dalam melihat pemuda: sebagai agen perubahan, bukan objek kegiatan seremonial.

“Budi bukan hanya representasi elite dia adalah cerminan dari harapan kita pada pemuda yang mampu menjembatani dua dunia: kebijakan dan lapangan, pusat dan daerah, wacana dan aksi. Karang Taruna butuh pemimpin seperti itu jika ingin relevan di masa depan,” pungkas Mahdiyal.

Momentum Kebangkitan Pemuda

Pencalonan Budisatrio Djiwandono tak bisa hanya dilihat dari sisi politis. Ini adalah ujian bagi pemuda Indonesia: apakah mereka siap dipimpin oleh figur yang membawa semangat pembaruan, atau tetap berkutat dalam pola lama yang stagnan.

Mahdiyal Hasan telah menyuarakan harapan banyak anak muda: kepemimpinan yang humble, cerdas, visioner, dan bersedia turun langsung ke lapangan. Dalam sosok Budi, ia melihat harapan itu nyata.

Karang Taruna kini berdiri di persimpangan sejarah. Dan jika benar ingin menjadi pelopor perubahan sosial, pilihan ke depan harus tegas bukan soal siapa yang populer, tapi siapa yang benar-benar peduli dan siap bekerja untuk masa depan pemuda Indonesia.

(Mond)

#Tidar #KarangTaruna #MahdiyalHasan #BudisatrioDjiwandono