Breaking News

IKN: Megaproyek Tanpa Investor, Rakyat yang Menanggung Beban

Ilustrasi 

Dirgantaraonline
- Di sebuah negeri yang sibuk mengecat langit dengan slogan, lahirlah sebuah megaproyek yang katanya akan menjadi simbol peradaban baru: IKN, Ibu Kota Negara. Nama yang begitu agung, seolah seluruh semesta pembangunan akan berputar di poros hutan Kalimantan. Gedung-gedung diklaim akan menjulang, tapi yang lebih dulu tumbuh justru tiang-tiang utang yang akarnya menjulur ke APBN dan bunga pinjaman luar negeri.

Para pejabat berdasi menggelar konferensi pers berkali-kali sambil menunjukkan infografis penuh warna yang tak pernah menjawab satu pertanyaan penting: “Siapa sebenarnya yang akan bayar semua ini?”

Investor asing? Mereka tersenyum sopan, lalu menghilang perlahan seperti asap dupa di ruang diplomasi. SoftBank sempat datang, lalu pergi, seperti mantan yang sadar ia diajak menikah tanpa kepastian masa depan. Investor lokal? Sebagian sudah mencoba menggigit, lalu memuntahkannya perlahan, karena cita rasa proyek ini lebih mirip utopia yang dibungkus power point.

Sementara itu, para menteri berpindah-pindah dari Jakarta ke Kalimantan, memamerkan helm proyek dan sepatu bot, sambil mengumumkan “pemindahan simbolis” entah apa itu artinya. Mungkin hanya artinya: belum jadi, tapi mari berpura-pura sudah pindah. Yang penting meriah, merdeka.

Dan rakyat? Mereka diminta bersabar. Seperti biasa. Disuruh menunggu janji yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya koneksi dan undangan gala dinner. Rakyat diminta bangga, meski belum tahu kapan bisa melihat kantor kelurahan di ibu kota baru.

Dan siapa yang membayar ongkos semua ini? BUMN konstruksi yang dicekoki PMN, lalu dijadikan juru selamat proyek. Mereka membangun dengan napas ngos-ngosan, dikejar utang dan bunga. Dan ketika gagal bayar, akan ada suara lirih dari kementerian: “Tenang, negara hadir.”

IKN kini seperti teater pembangunan: panggung megah, tapi naskahnya belum selesai ditulis. Sutradara berganti, pemain utama pun berubah. Tapi penontonnya tetap: rakyat yang duduk di kursi belakang, tak pernah diajak dialog.

Sementara bendahara negara mulai gelisah. Sebab uang yang tersisa harus dibagi untuk banyak hal subsidi pangan, biaya pendidikan, dan beban utang yang terus menumpuk. Maka sang bendahara pun berbisik di ruang tertutup “ Kalau tak ada investor, siapa yang kita tipu? Diri kita sendiri?”

Penulis: Erizeli Jely Bandaro

#Opini #IKN