Breaking News

Anak Susah Makan dan Sulit Diatur di Usia Golden Age: Alarm dari Pola Asuh yang Perlu Diperbaiki

Ilustrasi Anak Menangis 

Dirgantaraonline -
anak susah makan dan sulit diatur pada usia Golden Age Adalah cerminan pola asuh yang keliru

“Anak bukan kertas kosong, melainkan spons yang menyerap semua, termasuk cara orangtuanya bersikap.”

Usia 0–6 tahun, atau yang dikenal sebagai masa golden age, sering disebut sebagai fase emas dalam tumbuh kembang anak. Di masa ini, otak anak berkembang pesat hingga mencapai 80% kapasitas dewasa, dan seluruh sistem emosional serta perilaku mereka dibentuk secara mendasar. Namun, ironisnya, pada fase yang begitu krusial ini, banyak orang tua justru mulai panik saat menghadapi dua masalah klasik: anak susah makan dan anak sulit diatur.

Sayangnya, sebagian besar orang tua melihat ini hanya sebagai masalah anak semata. Padahal, di balik anak yang susah makan atau sulit diatur, seringkali tersembunyi kesalahan pola asuh yang tidak disadari. Inilah yang perlu dikaji lebih dalam.

Susah Makan: Benarkah Masalah Anak? Atau Cermin Ketidakhadiran Emosi Orang Tua?

Banyak orang tua mengeluhkan anak mereka yang menolak makan, memilih-milih makanan, atau hanya mau makan sambil bermain atau menonton. Tapi sebelum menghakimi si kecil, mari bertanya: Apakah anak merasa makanan sebagai momen cinta dan kebersamaan, atau justru tekanan dan amarah?

Sebagian besar kasus “anak susah makan” sebenarnya bukan karena anak tidak suka makan, melainkan karena:

  • Makan dijadikan medan perang emosi. Anak dipaksa, diancam, atau disuap.
  • Makan tidak punya makna emosional. Tidak ada interaksi hangat, tidak ada keterlibatan anak dalam proses makan.
  • Pola makan yang tidak konsisten. Jadwal tidak teratur, terlalu banyak camilan, atau terlalu banyak screen time menjelang makan.

Anak belajar mencintai makan bukan dari rasa lapar, tapi dari pengalaman emosional yang menyertainya. Ketika suasana makan diwarnai ketegangan, bentakan, atau paksaan, maka otak anak menyimpan makan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.

Anak Sulit Diatur: Lahir dari Kekacauan Pola Asuh yang Tidak Konsisten

"Anak saya tidak bisa diam. Bandel. Susah dinasihati. Tidak nurut!" Begitu keluhan yang kerap kita dengar. Tapi mari kita balik cermin itu: apakah sebagai orang tua kita memberi contoh ketenangan? Konsistensi? Apakah kita punya batasan yang jelas, atau justru kadang lembek, kadang keras?

Anak usia golden age belum mampu mengatur dirinya sendiri secara utuh. Mereka belajar mengelola emosi, aturan, dan perilaku dari interaksi harian dengan pengasuh terdekat biasanya orang tua. Jika orang tua:

  • Mudah emosi, anak belajar mengatur masalah dengan marah.
  • Tidak konsisten dalam memberi aturan, anak belajar bahwa aturan bisa dinegosiasi.
  • Jarang melibatkan anak dalam pengambilan keputusan kecil, anak tumbuh merasa tidak punya kendali dan cenderung memberontak untuk menunjukkan eksistensinya.

Dalam banyak kasus, anak yang sulit diatur adalah anak yang ingin didengar namun tidak diberi ruang. Mereka bukan keras kepala, tapi sedang mencari batas yang tegas dan aman untuk tumbuh.

Pola Asuh Keliru: Sering Kali Tidak Disadari

Kesalahan dalam pola asuh tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik atau verbal. Bahkan orang tua yang tampaknya lembut bisa jadi sedang melakukan pola asuh yang melemahkan anak jika:

  • Terlalu memanjakan atau membiarkan (permissive parenting).
  • Terlalu mengontrol hingga mengabaikan emosi anak (authoritarian parenting).
  • Tidak konsisten antara ucapan dan tindakan.
  • Lebih sibuk dengan gawai daripada tatapan mata kepada anak.

Dalam golden age, anak tidak hanya butuh makan dan mainan. Mereka butuh:

  • Kehangatan emosional.
  • Aturan yang konsisten dan dijelaskan dengan kasih.
  • Ruang untuk mengeksplorasi dan gagal.
  • Contoh konkret dari orang tua.

Refleksi: Anak adalah Cermin Emosional Keluarga

Jika anak menunjukkan perilaku "bermasalah", seringkali itu bukan karena anak itu nakal. Melainkan karena anak itu sedang berusaha memberitahu sesuatu dengan cara yang belum bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Dan cara anak mengungkapkannya adalah lewat perilaku: menolak makan, tantrum, menjerit, atau membangkang.

Mereka sedang berkata: “Perhatikan aku. Aku bingung. Aku butuh bantuan.”

Inilah saatnya kita, sebagai orang tua, guru, atau pengasuh, tidak fokus hanya pada perbaikan perilaku, tapi juga memperbaiki hubungan. Karena anak tidak butuh banyak nasihat. Mereka butuh teladan, kehadiran, dan cinta yang tak bersyarat.

Menata Ulang Pola Asuh: Dari Kontrol Menuju Koneksi

Jika anak susah makan atau sulit diatur, bukan berarti sudah terlambat. Justru ini adalah alarm lembut agar kita mengevaluasi kembali:

  • Sudahkah saya hadir penuh saat bersama anak?
  • Apakah saya sering menyentuh mereka dengan pelukan, bukan hanya kata-kata?
  • Apakah aturan saya konsisten, atau sering berubah-ubah?
  • Apakah saya mendengarkan anak sebelum menegur?

Pola asuh yang sehat bukan tentang mengendalikan anak, tapi membimbing mereka dengan cinta dan ketegasan. Anak-anak yang tumbuh dengan rasa aman dan didengar akan lebih mudah diarahkan, lebih sehat secara emosi, dan lebih siap menghadapi dunia.

Saatnya Kita Belajar Lagi, Bukan Menyalahkan Anak

Golden age adalah waktu yang tidak bisa diulang. Jika pada fase ini kita tidak mampu memberi pola asuh yang sehat, konsekuensinya akan terasa bertahun-tahun ke depan baik dalam aspek fisik, mental, maupun sosial anak.

Jadi ketika anak susah makan atau sulit diatur, jangan buru-buru menyalahkan mereka. Lihatlah lebih dalam, mungkin saatnya kita menata ulang cara kita hadir sebagai orang tua.

Karena anak yang tumbuh dalam cinta dan keteladanan, akan menjadi pribadi yang mudah diarahkan tanpa perlu banyak teriakan.

(Mond)

#Parenting #PolaAsuh #Gayahidup #Lifestyle