Breaking News

43 Persen Kasus Femisida Berawal dari KDRT dan Kekerasan dalam Pacaran

Ilustrasi perempuan ketakutan. Foto: HTWE/Shutterstock

Dirgantaraonline —
Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan, bukan sekadar kejahatan biasa. Ia adalah puncak dari gunung es kekerasan berbasis gender yang selama ini tak terlihat, diremehkan, atau malah dianggap urusan pribadi. Dan kini, Indonesia kembali diguncang oleh kenyataan pahit: perempuan tak lagi aman bahkan di tempat yang seharusnya paling melindungi mereka  rumah sendiri.

Dalam laporan terbaru yang dirilis komunitas Jakarta Feminist bertajuk “Menelusuri Kekerasan Berlapis: Ruang Aman Diabaikan, Nyawa Perempuan Dikorbankan”, terungkap data yang mencengangkan. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 209 perempuan meregang nyawa akibat femisida. Jika dirata-ratakan, setiap dua hari sekali, satu perempuan dibunuh. Ini bukan sekadar statistik ini adalah tragedi kemanusiaan.

Cinta yang Menyesatkan: 43 Persen Kasus Berawal dari Kekerasan dalam Relasi Pribadi

Ironis dan menyayat hati, 43 persen kasus femisida di Indonesia berakar dari hubungan yang seharusnya dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan dalam pacaran. Kekerasan ini tidak hanya meninggalkan luka fisik dan psikologis, tetapi juga dapat berakhir pada hilangnya nyawa.

Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat 37 persen. Artinya, relasi intim yang dipenuhi kekerasan kini makin sering menjadi jalur menuju kematian bagi perempuan. Hubungan kasih tak lagi menjanjikan keselamatan, tapi justru menjadi ladang kekerasan yang mematikan.

Rumah: Dari Ruang Aman Menjadi Arena Kematian

Salah satu temuan paling memilukan dari laporan Jakarta Feminist adalah bahwa 53 persen femisida terjadi di dalam atau sekitar rumah korban. Tempat yang idealnya menjadi zona nyaman dan perlindungan justru berubah menjadi ruang paling mematikan bagi perempuan.

Sisanya terjadi di ruang publik: sekolah, kebun, jalan, tempat kerja tetapi rumah tetap menjadi lokasi paling dominan. Bahaya nyatanya lebih sering datang dari orang terdekat  pasangan, suami, atau anggota keluarga sendiri.

Ternyata rumah bukan jadi tempat yang aman buat perempuan. Rumah justru jadi tempat di mana perempuan meregang nyawa. Parahnya, kalau terjadi kekerasan, masih banyak yang menganggap itu urusan privasi rumah tangga. Padahal, kalau tidak diintervensi bisa jadi femisida,” ujar Nur Khofifah, Program Officer dari Jakarta Feminist.

Ketiadaan Undang-Undang Femisida: Perempuan Tidak Dilindungi Sepenuhnya

Sayangnya, meski femisida telah nyata menjadi masalah yang mendesak, Indonesia belum memiliki satu pun undang-undang khusus yang secara eksplisit mengakui femisida sebagai kejahatan berbeda dari pembunuhan biasa (homicide). Ini menciptakan kekosongan hukum yang besar dalam sistem perlindungan terhadap perempuan.

Dr. Erni Mustikasari, Deputi V Kemenko Polhukam, mengungkapkan bahwa hukum pidana Indonesia belum mengatur secara spesifik pembunuhan terhadap perempuan sebagai tindak kejahatan berbasis gender. KUHP Nasional memang mengenal pemberatan hukuman, seperti penambahan sepertiga hukuman jika korban adalah istri atau anak, namun belum sampai mengategorikan femisida sebagai tindak pidana khusus.

“UU Specialis seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, atau UU TPKS tidak mengatur delik pembunuhan secara khusus. Mereka hanya menyebut kekerasan yang mengakibatkan kematian, yang tentu berbeda secara prinsip dari pembunuhan dengan motif gender,” jelas Erni.

Negara Lain Sudah Bergerak, Indonesia Masih Terlambat

Banyak negara di Amerika Latin sudah menempatkan femisida dalam kerangka hukum nasional mereka. Costa Rica, Nicaragua, dan Venezuela memiliki undang-undang khusus yang mengatur femisida sebagai tindak pidana serius. Peru dan Chili bahkan memasukkan femisida dalam KUHP mereka, sementara Brazil dan Argentina menjadikannya pemberat hukuman bagi pelaku.

Sementara itu, Indonesia masih tertinggal.

“Kalau di negara lain sudah ada undang-undang khusus, Indonesia sampai hari ini belum. Padahal setiap tahun nyawa perempuan terus melayang karena kekerasan berbasis gender. Pertanyaannya sekarang: Indonesia mau seperti apa?” tegas Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan periode 2020–2025.

Kapan Kita Akan Menyadari Nyawa Perempuan Layak Dilindungi?

Fakta-fakta dalam laporan ini tidak bisa dianggap sepele. Femisida bukan sekadar ‘masalah perempuan’, tetapi cerminan dari rapuhnya sistem hukum, budaya patriarki yang mengakar, dan kurangnya edukasi gender dalam masyarakat.

Ketika cinta berubah menjadi ancaman, dan rumah menjadi tempat kematian, maka negara tak bisa lagi berdiam diri.

Sudah waktunya Indonesia mengakui bahwa femisida adalah bentuk kekerasan ekstrem yang membutuhkan payung hukum khusus. Tanpa itu, korban akan terus berjatuhan, dan kita semua turut bersalah karena membiarkan kekosongan hukum mengubur nyawa para perempuan tak berdosa.

(Mond)

#Femisida #KekerasanTerhadapPerempuan #KDRT