Mantan Wali Nagari Sungai Nyalo IV Koto Mudiek Dieksekusi ke Rutan Painan, Kasasi Ditolak MA karena Tanpa Memori: Kisah Lengkap Penganiayaan di Pantai Teluk Tan Sridano
Terdakwa Ulil Amri sesampai di Rutan Painan, Kamis (19/6/2025). Foto: Kejari Pesisir Selatan
D'On, Pesisir Selatan — Setelah melalui proses hukum berliku selama hampir setahun, mantan Wali Nagari Sungai Nyalo IV Koto Mudiek yang juga seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Ulil Amri, akhirnya harus mendekam di balik jeruji besi Rumah Tahanan (Rutan) Painan. Eksekusi dilakukan oleh pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pesisir Selatan, Kamis sore, 19 Juni 2025, tepat pukul 16.30 WIB, menyusul keluarnya putusan inkrah dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Ulil Amri merupakan terdakwa dalam kasus penganiayaan terhadap Syafwan Zadri, yang akrab disapa Isat, dalam sebuah insiden yang terjadi di Pantai Teluk Tan Sridano, Nagari Taluk, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, pada pertengahan tahun 2024 lalu. Peristiwa tersebut bermula dari pencarian seorang istri yang berujung pada pertikaian fisik antara dua pria dewasa, dan kini berakhir dengan vonis pidana.
Kasasi Tanpa Memori, Upaya Hukum Terdakwa Gugur
Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Pesisir Selatan, Rizky Al Ikhsan SH MH, membenarkan bahwa putusan kasasi dari Mahkamah Agung RI telah keluar pada Senin, 2 Juni 2025. Namun, upaya hukum yang diajukan pihak terdakwa justru terpeleset di ranah administratif.
“Kasasi yang diajukan tidak disertai dengan memori kasasi, sehingga dinyatakan tidak memenuhi syarat formil. Otomatis, putusan sebelumnya dari Pengadilan Tinggi Sumatera Barat menjadi berkekuatan hukum tetap,” terang Rizky.
Putusan Pengadilan Tinggi yang keluar pada 21 Mei 2025 tersebut sejatinya menguatkan putusan PN Painan pada 20 Maret 2025, yang menjatuhkan hukuman dua bulan penjara terhadap Ulil Amri, berdasarkan Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan ringan.
Eksekusi terhadap Ulil Amri pun dilaksanakan segera setelah Kejari mengeluarkan Surat Perintah Eksekusi pada Rabu, 18 Juni 2025. Menurut Rizky, masa tahanan terdakwa tinggal menyisakan sekitar satu bulan, setelah dikurangi masa tahanan rumah yang pernah dijalani sebelumnya.
Kronologi: Dari Pencarian Istri hingga Perkelahian di Penginapan
Peristiwa ini bermula pada Minggu malam, 7 Juli 2024, sekitar pukul 23.00 WIB. Korban, Syafwan Zadri, ditemani seorang saksi bernama Firman Robi, datang ke kawasan Pantai Teluk Tan Sridano untuk mencari istrinya, Isna, yang dikabarkan hilang kontak. Keduanya memutuskan bermalam di lokasi tersebut demi memperluas pencarian.
Keesokan harinya, Senin pagi, 8 Juli 2024, pukul 09.00 WIB, korban dan saksi ditemani beberapa pemuda Nagari Taluk, mendatangi sebuah penginapan yang diketahui merupakan milik terdakwa Ulil Amri. Mereka berharap mendapat petunjuk keberadaan Isna. Di depan gerbang penginapan, rombongan bertemu dengan seorang warga bernama Buyuang Sural.
Ketika ditanya keberadaan Isna, Buyuang awalnya menjawab tak tahu, namun kemudian memberikan petunjuk samar bahwa “di pintu kembar, di samping penginapan.” Korban lalu menyusuri arah yang ditunjukkan dan melihat Ulil Amri keluar dari arah pintu tersebut.
Situasi mulai memanas. Korban bersama saksi dan warga lainnya langsung mendekati Ulil Amri. Saat itu korban mulai merekam dengan kamera ponselnya, dan saksi bertanya, “Mano bini den?” Namun terdakwa justru menjawab tajam, “Jaan macam-macam disiko. Iko pekarangan awak mah!”
Ketegangan meningkat. Terdakwa sempat memanggil Buyuang Sural untuk “mengamankan” pemuda-pemuda yang datang. Namun, saat korban masih merekam, emosi terdakwa memuncak. Ulil Amri mengejar korban ke dalam rumah, merenggut kerah bajunya, dan mencoba merebut ponsel yang digunakan merekam. Tarikan keras menyebabkan baju korban robek, dan terdakwa melayangkan pukulan ke pipi kiri korban sebanyak satu kali.
Perkelahian sempat dilerai, namun tak berhenti di situ. Terdakwa kembali menghampiri korban dan melayangkan pukulan kedua ke pipi kiri, sebelum akhirnya keduanya terlibat baku hantam. Beberapa saksi, termasuk Buyuang Sural dan Dika, berusaha melerai pertikaian tersebut.
Korban yang mengalami luka dan rasa sakit di tubuhnya, kemudian melaporkan kejadian itu ke pihak berwajib. Proses hukum pun dimulai.
Proses Hukum: Vonis, Banding, dan Kasasi Gagal
Jaksa Penuntut Umum Junaidi SH MH dalam persidangan di Pengadilan Negeri Painan menuntut terdakwa dengan hukuman tiga bulan penjara, karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP.
Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis dua bulan penjara pada 20 Maret 2025. Tak puas, Ulil Amri mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, namun pada 21 Mei 2025, banding tersebut ditolak. PT Sumbar menyatakan vonis PN Painan telah tepat dan sejalan dengan fakta persidangan.
Langkah hukum terakhir ditempuh Ulil Amri dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun upaya itu berakhir sia-sia. Mahkamah Agung menyatakan kasasi tidak dapat diterima, karena dokumen permohonan tidak disertai memori kasasi sebagaimana diwajibkan oleh hukum acara pidana.
Akhir Sebuah Perkara
Dengan gagalnya kasasi, status hukum Ulil Amri resmi inkracht. Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan bergerak cepat mengeksekusi vonis tersebut, dan kini, mantan wali nagari itu harus menjalani sisa hukuman penjara di Rutan Painan.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa siapa pun, tak peduli status sosial atau jabatan, harus tunduk di bawah hukum. Dan bahwa setiap kekerasan baik yang dilatari emosi, cinta, atau ego tetaplah kekerasan yang berpotensi berbuntut hukum.
(Mond)
#KejariPessel #Hukum #Kekerasan