Tragedi Sunyi di Garut: Warga Dibayar Rp150 Ribu Sehari untuk Musnahkan Amunisi TNI Tanpa Alat Pelindung
D'On, Jakarta - Di balik ledakan hebat yang menggetarkan kawasan Garut pada 12 Mei 2025 lalu, terbentang kisah suram yang baru kini terungkap. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap temuan mencengangkan: sebanyak 21 warga sipil dilibatkan dalam pemusnahan amunisi tak layak pakai milik TNI tanpa pelatihan resmi, tanpa alat pelindung diri, dan hanya dibayar Rp150.000 per hari.
"Pada peristiwa tanggal 12 Mei, 21 orang warga dipekerjakan untuk membantu proses pemusnahan amunisi apkir milik TNI. Mereka bekerja dalam risiko tinggi, dengan upah rata-rata Rp150 ribu per hari," ungkap Uli Parulian Sihombing, anggota Komnas HAM, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Bekerja di Ambang Maut
Para warga ini bukan prajurit, bukan pula teknisi persenjataan. Mereka adalah pekerja lepas yang direkrut dan dikoordinasikan oleh seseorang bernama Rustiawan sosok yang telah lebih dari satu dekade bergelut dalam dunia pemusnahan amunisi, bekerja sama dengan institusi militer dan kepolisian.
Yang mengkhawatirkan, Komnas HAM menyebut bahwa para pekerja ini tidak mendapatkan pelatihan profesional apa pun. Mereka belajar secara otodidak belajar dari pengalaman, dari pengamatan, dan dari sesama pekerja senior. Tak ada sertifikat kompetensi, tak ada standar keselamatan.
"Mereka belajar dari pengalaman bertahun-tahun, tanpa pelatihan resmi dan tanpa sertifikasi kompetensi. Ini berbahaya, sangat berbahaya," ujar Uli.
Lebih parahnya lagi, para pekerja tersebut tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD). Dalam situasi pemusnahan amunisi pekerjaan yang sangat berisiko tinggi tidak ada helm, tidak ada rompi antipeluru, tidak ada sarung tangan khusus atau perlindungan lain yang seharusnya mutlak digunakan.
Tugas Harian di Zona Bahaya
Meski hanya dibayar setara upah buruh harian, peran warga ini tidak remeh. Mereka tidak hanya mengangkut logistik. Beberapa menjadi sopir truk yang mengangkut amunisi, sebagian lainnya menggali lubang untuk pemusnahan, bahkan ada yang membongkar amunisi secara langsung pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh teknisi bersertifikat. Ada juga yang ditugaskan sebagai juru masak, menyuplai kebutuhan tim di lapangan.
"Beberapa dari mereka bahkan sudah pernah dikirim ke daerah lain untuk melakukan tugas serupa, termasuk ke Makassar dan Maluku," kata Uli.
Langgar Standar Internasional
Apa yang terjadi di Garut, menurut Komnas HAM, merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar keselamatan dan HAM. Uli merujuk pada panduan resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pelibatan warga sipil dalam kegiatan pemusnahan amunisi. Dalam pedoman tersebut, keterlibatan sipil memang dibolehkan, tetapi hanya jika pekerja memiliki kompetensi teknis tertentu dan pelatihan yang memadai.
"Kasus di Garut jelas tidak memenuhi syarat. Ini bukan hanya soal pelibatan sipil, tapi soal kelalaian dalam menjamin keselamatan mereka," tegasnya.
Seruan Evaluasi dan Perlindungan
Komnas HAM menuntut adanya evaluasi menyeluruh terhadap praktik pelibatan warga sipil dalam kegiatan militer berisiko tinggi. Mereka menegaskan bahwa tugas-tugas seperti pemusnahan amunisi seharusnya hanya dilakukan oleh personel bersertifikat, dengan perlindungan memadai.
"Tanpa keahlian khusus dan jaminan perlindungan, masyarakat tidak seharusnya dilibatkan dalam kegiatan militer terutama yang menyangkut alat utama sistem persenjataan (alutsista)," tegas Uli.
Penutup: Nyawa yang Dipertaruhkan untuk Rp150 Ribu
Kasus di Garut bukan sekadar soal prosedur yang dilanggar, melainkan soal nyawa yang dipertaruhkan dalam senyap. Saat negara mempercayakan pekerjaan berbahaya pada tangan yang tak berpelatihan, siapa yang akan bertanggung jawab ketika tragedi terjadi?
Kisah 21 warga yang terlibat dalam pemusnahan amunisi ini bukan hanya membuka mata tentang lemahnya sistem pengamanan, tapi juga tentang nilai manusia yang direndahkan. Apakah Rp150 ribu cukup untuk membayar risiko kehilangan nyawa?
(T)
#Peristiwa #LedakanAmunisi #TNI #KomnasHAM