Saat Anak Tidak Boleh Dimarahi: Memahami Momen-Momen Krusial dalam Psikologi Anak
Ilustrasi
Dirgantaraonline - Dalam dunia pengasuhan anak, tak ada peta yang sempurna. Namun satu hal pasti: kemarahan orang tua adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat pembelajaran, tapi juga bisa menggores jiwa anak lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Banyak orang tua marah karena cinta—tapi cinta yang baik harus disalurkan dengan kebijaksanaan. Sebab ada saat-saat tertentu ketika memarahi anak justru bisa merusak, bukan membangun.
Mari kita telaah dengan jujur dan dalam: kapan saja anak sebenarnya tidak boleh dimarahi oleh orang tuanya?
1. Saat Anak Sedang Takut atau Terkejut
Ketika anak baru saja mengalami sesuatu yang menakutkan misalnya jatuh dari sepeda, tersesat di mal, atau melihat sesuatu yang membuatnya panik reaksi pertama mereka adalah mencari rasa aman. Saat seperti ini, mereka butuh pelukan, bukan bentakan.
Memarahi anak yang baru saja trauma kecil dapat memperparah rasa cemas dan ketidakamanannya. Menurut psikolog anak, rasa takut yang tidak ditenangkan bisa berubah menjadi fobia atau trauma jangka panjang.
Alih-alih bertanya, “Kenapa kamu bisa jatuh?” lebih baik katakan, “Kamu tidak apa-apa? Ayo Mama bantu.”
Empati dulu, evaluasi belakangan.
2. Saat Anak Menunjukkan Emosi yang Kuat (Sedih, Marah, atau Menangis)
Banyak orang tua merasa frustrasi saat anak tantrum, menangis berlebihan, atau membanting barang. Reaksi spontan: marah. Tapi sebenarnya, di balik luapan emosi itu, anak sedang “berbicara”—dengan bahasa yang belum mereka kuasai sepenuhnya.
Anak kecil belum mampu mengatur emosinya seperti orang dewasa. Jika mereka dimarahi ketika sedang marah atau sedih, mereka tidak belajar bagaimana mengelola perasaan mereka justru belajar menyembunyikannya. Ini berbahaya. Emosi yang dipendam bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan atau depresi di kemudian hari.
Tugas orang tua bukan meredam emosi anak, melainkan membimbing anak untuk mengenal dan mengekspresikannya dengan sehat.
3. Saat Anak Melakukan Kesalahan Karena Ketidaktahuan
Bayangkan anak Anda menumpahkan segelas susu karena ingin menuangkannya sendiri. Tangan kecilnya belum stabil, tapi niatnya tumbuh: ia ingin belajar mandiri. Apa yang terjadi jika Anda langsung memarahinya?
Anak belajar bahwa mencoba hal baru adalah hal yang berbahaya, karena bisa “mengundang” kemarahan. Hasilnya, mereka takut mencoba, takut gagal, dan akhirnya takut berkembang.
Kesalahan karena ketidaktahuan adalah bagian dari pembelajaran. Alih-alih dimarahi, anak seharusnya dibimbing.
Cobalah katakan: “Wah, belum berhasil ya. Ayo kita coba sama-sama lagi.”
4. Saat Anak Sedang Sakit atau Tidak Enak Badan
Anak yang sakit menjadi lebih rewel, lebih sensitif, bahkan lebih sulit diatur. Tapi ini bukan karena mereka “nakal”—ini karena mereka merasa tidak nyaman, dan satu-satunya cara mereka mengekspresikannya adalah lewat perilaku.
Jika orang tua terpancing emosi, anak bisa merasa diabaikan atau ditolak di saat ia paling membutuhkan kasih sayang.
Ingatlah: sakit bukan hanya menyerang fisik anak, tapi juga emosinya. Saat seperti ini, pelukan dan kesabaran jauh lebih mujarab daripada kata-kata keras.
5. Saat Anak Jujur Mengakui Kesalahan
Inilah salah satu ujian terbesar bagi orang tua: ketika anak mengakui telah melakukan kesalahan. Mungkin mereka memecahkan vas bunga, mencoret tembok, atau membohongi Anda—lalu mengaku dengan mata berkaca-kaca.
Banyak orang tua refleks langsung memarahi. Tapi tahukah Anda? Di momen ini, anak sedang belajar kejujuran dan tanggung jawab.
Jika kejujuran mereka dibalas dengan kemarahan, besar kemungkinan lain kali mereka memilih berbohong. Bukan karena mereka jahat, tapi karena takut dihukum.
Jangan matikan keberanian anak untuk berkata jujur. Hargai kejujurannya terlebih dahulu, lalu bicarakan kesalahannya dengan bijak.
6. Saat di Depan Orang Lain (Di Tempat Umum atau di Depan Teman/Anggota Keluarga)
Memarahi anak di depan umum bukan hanya mempermalukan mereka—tapi juga bisa menghancurkan rasa percaya dirinya. Anak akan merasa diejek, direndahkan, dan tidak dicintai. Bahkan jika Anda merasa malu dengan perilaku anak, jangan balas dengan mempermalukannya.
Koreksi anak sebaiknya dilakukan secara privat, dengan nada yang tenang dan jelas.
Tunjukkan bahwa Anda mendidik dengan hormat, bukan menghakimi.
Menjadi Orang Tua yang Berdaya, Bukan Pemarah
Kemarahan orang tua adalah hal manusiawi. Tapi tidak semua kemarahan harus dilampiaskan. Menjadi orang tua bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling bijaksana dalam mendampingi anak tumbuh.
Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang hadir, peka, dan tahu kapan harus diam, kapan harus memeluk, dan kapan harus bicara.
Karena pada akhirnya, anak-anak tak akan ingat seberapa sering mereka dimarahi tapi mereka akan selalu ingat bagaimana perasaan mereka saat dimarahi.
Sumber Rujukan:
- Dr. Laura Markham, Peaceful Parent, Happy Kids
- Daniel J. Siegel & Tina Payne Bryson, The Whole-Brain Child
- UNICEF Parenting Resources on Positive Discipline
(***)
#Parenting #Gayahidup #Lifestyle #Anak